Bung Karno |
Bulan-bulan terakhir tahun 1948 adalah
saat terberat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan
saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh
di depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa
sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi
peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948.
Klimaksnya ialah terjadinya Agresi militer Belanda 2, pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris
fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang
berada di ibu kota ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik
sudah tamat riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya
bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan
Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan sejumlah menteri
dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar seperti yang
dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda
datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan
kedua dari Bukittinggi di Sumatera.
Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber “menguasakan”) kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.
Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber “menguasakan”) kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.
Kedua, sewaktu mengetahui (via radio)
bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri
Kemakmuran) yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan
berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan
Yogya, melainkan atas inisiatif “spontan”, Sjafruddin dengan pemimpin
setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai “pemerintah
alternatif” bagi Republik yang tengah menghadapi “koma”.Sebagaimana terbukti kemudian, selama
delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah
kepemimpinan Sjafruddin di Sumatera mampu memainkan peran penting
sebagai pusat gravitasi baru dalam mempersatukan kembali kekuatan
Republik yang bercerai-berai di Jawa dan Sumatera. Bahkan, tidak kurang
dari Panglima Soedirman sendiri, yang kecewa dengan menyerahnya
Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan
siap memimpin perjuangan dengan bergerilya di hutan-hutan belantara
dalam keadaan sakit parah sekalipun.
Sementara itu, kontak-kontak PDRI via
India ke dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin
tak berarti, suatu Pyrrhic victory, suatu kemenangan yang
terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan sia-sia karena sukses
militer yang dicapainya harus ditarik kembali. Hanya dalam tempo tiga
hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal 22-23 Desember, Dewan
Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua negara, kecuali
Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda
benar-benar dibuat sebagai “pesakitan” yang kehilangan muka di panggung
pengadilan dunia.
Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat
dengan Konferensi Asia di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang
menuntut pembebasan segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu
juga pengembalian ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia
yang demokratis tanpa campur tangan Belanda. Dalam
perundingan-perundingan selanjutnya negara bekas penjajah itu tidak bisa
lagi mengelak dari campur tangan internasional. Sejak itu,
kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda lewat manipulasi informasi
untuk mempengaruhi opini dunia semakin kelihatan belangnya sehingga
membuat posisinya semakin terpojok, baik di Indonesia maupun di mata
dunia.
Tulisan ini ingin mendiskusikan
sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa PDRI, yang selama ini
terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sejumlah
penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah bangsa
umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka
perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang
terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis
waktu itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama ini?
- Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis
Telah berpuluh-puluh tahun “Bapak Bangsa” (the founding fathers) jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state,
negara bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu:
Republik Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam
usianya yang masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi
itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum
pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada
masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh,
Presiden dan Wakil Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap
Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini,
simpati dan dukungan dunia internasional terhadap Indonesia demikian
intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada akhirnya haruslah
ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri.
Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi “kata-putus” di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak korban ‘mati-konyol’ karena pasukan bambu runcing yang siap “berjibaku” untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa?
Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi “kata-putus” di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak korban ‘mati-konyol’ karena pasukan bambu runcing yang siap “berjibaku” untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa?
Akan tetapi, di masa kritis pada
penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno sebagai pemimpin, membawa
bangsanya keluar dari keadaan gawat itu? Memang tak mudah melihat Bung
Karno dalam potret hitam putih. Seperti dikatakan sejarawan Onghokham
(1978), dia adalah “pribadi yang kompleks dan tokoh penuh aneka warna”.
Namun, untuk satu hal, “Bung Karno adalah sebuah gelora“, tulis
kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya (1991). Sebuah
gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga merupakan
sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan. Tetapi, sebuah
gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi yang persis. Ia
bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu sehimpun bintang
yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut bercahaya.
Nebula yang bersinar itu ialah harapan
yang dipancarkan dari figur dan pidato-pidatonya yang menggetarkan.
Tetapi, harapan juga bisa berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa
yang dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada
saat-saat genting sewaktu agresi Belanda kedua itu. Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung
Karno sangat sibuk mengadakan perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato
politiknya yang gegap gempita, guna mengangkat moral perjuangan yang
semakin merosot karena ditusuk dari muka dan belakang. Di depan ada
Belanda, yang setelah Perjanjian Renville (Januari 1948) terus-menerus
menggembosi dukungan Republik dengan mendirikan negara-negara federal
versi Van Mook. Waktu itu hampir semua wilayah Indonesia sudah berada di
bawah pengaruh Belanda dengan berdirinya negara-negara federal ciptaan
Van Mook di sana, kecuali di tiga daerah: Yogyakarta, Sumatera Barat,
dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat tempat karena kesetiaan
kepada Republik sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar.
Sementara tekanan politik federal Van
Mook semakin gencar, terjadi pula pemberontakan PKI di Solo dan Madiun
bulan September 1948. Pemberontakan itu bukan hanya suatu pengkhianatan,
melainkan juga “tusukan dari belakang”, yang memperlemah Republik di
saat posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan diperkirakan akan
melakukan serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau balau dan
terombang-ambing “di antara dua karang” seperti dilukiskan Hatta waktu
itu Soekarno-Hatta adalah “dwitunggal” yang membuat kepastian dalam
ketidakpastian. Sebuah pesan radio dari Presiden Soekarno meminta
ketegasan kepada rakyat untuk memilih pemerintahan yang sah atau Muso.
Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap
kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. Salah satu slogan
berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap
kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda
ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). “Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota“,
kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada
di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal
detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).
Namun, ucapan Bung Karno yang paling
berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu
diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari
sebelum aksi militer Belanda ialah, “Jika Belanda ngotot menggunakan
kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan
menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit
berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)
Namun, apa yang terjadi kemudian ialah
sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik
merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada
Belanda. Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira
yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya
bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan,
perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang
kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu
memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa
di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya
hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
Akan tetapi, kekecewaan pada Bung
Karno-patahnya kepercayaan kepada obor, sebuah simbol-tidak hanya
merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di hari itu juga menimbulkan
kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia pun senantiasa berada
dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib Republik dan terhadap
nyawanya. “Pada akhirnya saya hanya manusia biasa. Siapa yang tahu
apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya perasaan mereka akan
membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang asing, saya berpikir:
sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke depan pleton
penembak“, begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya yang terkenal.
Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil
Presiden dengan sejumlah anggota kabinet ditawan Belanda, suasana
kritis dan mencekam waktu itu tidak perlu membuat kedua tokoh puncak
Republik itu kehilangan akal sehat. Pada detik-detik sebelum kejatuhan
Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah terakhir dari busurnya:
mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang menentukan perjalanan
sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap dan tak lagi
tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan mereka.
Menurut keterangan Hatta di belakang
hari, keputusan apakah pemerintah akan tetap berada dalam kota atau ikut
bergerilya bukan atas kemauan pribadi Presiden dan Wakil Presiden,
melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet berdasarkan pemungutan
suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih sikap pertama,
artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer, terutama Panglima
Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan untuk
meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan prajurit TNI.
Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya
“ikut perang gerilya”. Namun, karena tidak tersedia cukup pasukan
pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap resmi
pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2)
- Hidup dalam pembuangan
Para pemimpin Republik yang ditawan
Belanda selepas pendudukan Yogya, diasingkan pada dua tempat yang
berbeda. Tiga orang pemimpin besar Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim,
dan Sutan Sjahrir ditawan di Brastagi, Sumatera Utara, kemudian
dipindahkan ke Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta, dideportasi ke
Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes Salim
adalah yang paling tua, tetapi paling singkat masa penahanannya. Di
zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara, kecuali sebentar di zaman
Jepang. Karena penahanan itu dianggap kekhilafan belaka, kemudian ia
dibebaskan dengan “permintaan maaf” dari pembesar Jepang. Tetapi,
kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam setiap zaman sejarah
Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang lebih belakangan.
Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir
sama-sama pernah mengalami hidup dalam penjara Belanda dalam waktu yang
lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis, tahanan kelas berat bersama Hatta
dan kawan-kawan di Digul, Papua, kemudian dipindahkan ke Bandaneira,
dekat Ambon. Jika dihitung ada sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup
dalam tahanan Belanda. Sedang Soekarno juga menghabiskan sebagian besar
waktunya dalam tahanan Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan
keputusan “Landraad” Bandung tahun 1930, kemudian ia dibuang lagi ke
Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu. Sewaktu dibebaskan karena
Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah menghabiskan usianya
dalam tahanan Belanda selama 10 tahun.
Antara Sjahrir dan Bung Karno yang
sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat, terdapat
beberapa kesamaan nasib dalam berurusan dengan penjara Belanda. Kecuali
ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10 tahun-keduanya adalah korban Exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde
(keamanan dan ketertiban). Tentu saja “membahayakan” menurut tafsiran
yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan “kezaliman”, orang tak begitu
keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten
tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu
tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali
mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang
dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara
terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh
pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis
hukumannya.
Apa pun namanya, hukuman yang diterima
Bung Karno dan Sjahrir amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan
demikian juga sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir
hayatnya. Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati
pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat
pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai
meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun, belum
pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat
kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim
dalam satu kamar.
Sjahrir pendiam dan suka marah kalau
ketenangannya merasa terusik, sementara Soekarno adalah pribadi yang
ceria suka “membunuh” waktunya dengan menyanyi atau apa saja yang
disukainya. Ketika mereka dibolehkan pengawal memesan kebutuhan yang
diperlukan, Sjahrir minta dibawakan buku-bukunya, tetapi Soekarno minta
dibawakan kemeja “Arrow”. Sekali waktu Bung Karno pernah mengatakan,
“saya tak keberatan menjadi tawanan Belanda karena ada tujuh cermin di
kamar saya….” Sjahrir dibuat jengkel dengan sikap-sikap Bung Karno yang
dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya.
Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi.
Sekali waktu Bung Karno menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras
dan bagi Sjahrir dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak
(dalam bahasa Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno
terdiam dan jengkel juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem
menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan,
“Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia menghardik
saya seperti itu?
Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda
Willem Drees datang ke Indonesia, Sjahrir diminta datang ke Jakarta
untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir bersedia datang ke Jakarta, tetapi
ia tidak kembali lagi ke Prapat karena sudah dibebaskan Belanda, dengan
maksud untuk memanfaatkannya sebagai “perantara” dalam rencana
perundingan baru, Roem-Roijen. Kejadian ini membuat Bung Karno tambah
marah. “Mengapa ia tidak kembali ke sini” (Prapat). “Kalau begitu ia
tidak setia,” sambungnya lagi seperti diceritakannya kepada Haji Agus
Salim.
Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya
tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA Salim. Sejak Februari 1949,
keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di Manumbing, Bangka.
Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia minta dipindahkan
ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak mau tinggal di sana
sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk menemani Bung Karno di
sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo.
Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok Manumbing di bawah
pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah pimpinan Bung Karno.
Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen
dimulai bulan April 1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran
Hatta, diangkat sebagai penasihat delegasi perunding Indonesia ke
Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir menolak karena mempertanyakan tanda tangan
Soekarno dalam surat keputusan itu. “Apa dia itu? Mengapa dia yang harus
mengangkat saya? Orang yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr
Sjafruddin Prawiranegara”, (Ketua PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi
lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno setelah mendengar itu.
Pengalaman yang kurang menyenangkan
selama dalam masa tahanan, dan kekecewaan dirinya dan orang-orang yang
setia kepadanya pada saat memilih ditawan Belanda dan bukan bergerilya,
saat kejatuhan Yogya, agaknya merupakan bagian terburuk dalam memori
sejarah pribadi Bung Karno, dan sekaligus penyebab utama mengapa ia
terkesan melupakan sejarah episode PDRI. Baginya, episode ini
seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will, sebuah
pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam ingatan
kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang ditulis oleh
Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam
perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah
sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik hingga pengakuan
kedaulatan di pengujung 1949.
- PDRI, ujian pertama integrasi bangsa
Pada detik-detik terakhir yang
menegangkan sebelum pemimpin puncak Republik ditawan Belanda, Hatta
masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan ke seluruh
wilayah Republik. “Musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik
tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang mendjadi kepala-negara atau
jang duduk dalam pemerintahan…. Rakjat harus berdjoang terus….”
Memang, Republik tidak hanya punya Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan
nama besar lainnya. Salah seorang yang paling diremehkan agaknya ialah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-1950
sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi intern
di bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar.
Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika “kembali ke Yogya”. Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik.
Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika “kembali ke Yogya”. Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik.
Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya
jatuh ke tangannya menyimpulkan bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka
lupa atau tak mau peduli bahwa Republik yang diproklamasikan sejak 17
Agustus 1945 itu, telah tercerahkan (enlightened) oleh
cita-cita kebangsaan sejak awal abad lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan,
juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana yang ada dalam benak kaum
kolonialis Belanda, melainkan sebuah “negara-bangsa” yang modern yang
telah dipersiapkan sedemikian rupa. Pembukaan UUD ’45 dan bangunan
konstitusi itu sendiri, sesungguhnya adalah blue-print dari
Republik yang baru itu, dan keduanya disusun oleh para “bapak bangsa”
dengan penuh kesadaran dan kecerdasan sebuah generasi yang tak ada
duanya. Ketika pimpinan puncak Republik ditawan Belanda, PDRI di
Sumatera mampu memerankan dirinya sebagai faktor integratif, yang
menjadi pusat jaringan perjuangan Republik via India ke dunia
internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di ibu kota Yogya dan
Jenderal Soedirman di medan gerilya.
Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan,
khususnya era PDRI, teori politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang
selalu percaya bahwa jika raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk,
semua akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda
sempat dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang sia-sia. Sesungguhnya inilah periode di mana
proses integrasi nasional menunjukkan hasil, ketika panggung sejarah
beralih dari kota ke desa-desa dan hutan-hutan, ketika rakyat tidak lagi
sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di panggung
sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau bukan
disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya
seakan-akan dilupakan?
Memang wacana sejarah bangsa kita,
seperti dikatakan sejarawan Taufik Abdullah, adalah soal pilihan: ada
bagian yang ingin dilupakan dan yang ingin diingat dan bahkan
dipalsukan. Pilihan yang semena-mena terhadap sejarah bangsa bisa
menyesatkan selama kriterianya ialah Like and Dislike yang
berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI seperti
juga biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan keduanya
merupakan wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar