A.H Nasution, Presiden Soekarno & Soeharto |
Dalam pertemuan kesembilan, 26 September,
ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional) dekat Halim Perdanakusumah
sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini ada desakan agar
D-Day ditetapkan pada 29 September, tetapi Letnan Kolonel Untung
memintanya ditunda menjadi 30 September, karena ia masih berharap
mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi Siliwangi.
Dan ia telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada seseorang
yang sepanjang data yang ada belum pernah terungkap namanya. Menurut
seorang jenderal purnawirawan yang pernah bertugas di bidang intelijen,
orang yang dimaksud tak lain adalah Mayjen Soeharto, yang kemudian
memintanya dari Brigjen Rukman dari Siliwangi yang oleh Sjam dikatakan
pernah menyanggupi memberi bantuan pasukan. Namun data ini masih harus
ditelusuri lebih jauh kebenarannya.
Permintaan Untung akan dukungan kavaleri
dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai terjadi peristiwa pada 1
Oktober dinihari. Namun merupakan suatu kebetulan yang menakjubkan
bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu pasukan kavaleri dengan 30 buah
tank dan kendaraan lapis baja dari Siliwangi –persis sama dengan yang
diinginkan Letnan Kolonel Untung– betul-betul datang ke Jakarta dan
bergabung ke bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Pertemuan terakhir, dilakukan tepat pada
D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba Tengah. Pada pertemuan
ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang dari Pontianak
sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman. Pangkopur II ini
menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam
komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan
yang tersedia sudah mencukupi. Malam itu ditaklimatkan nama delapan
jenderal yang akan dijemput, yakni Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal
Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas
Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo
Siswomihardjo dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Ada perubahan angka pasukan yang akan dikerahkan, dari satu kompi Tjakrabirawa
menjadi satu batalion, dan dari Brigif I Kodam Jaya dari satu batalion
menjadi tiga batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan
menjadi sekitar 7000 orang. Adalah menarik bahwa pada tengah malam,
Aidit yang sebenarnya dijemput oleh perwira Tjakrabirawa dari
rumahnya untuk dibawa ke Halim Perdanakusumah, pasca peristiwa
–berdasarkan sebuah laporan intelijen– digambarkan ikut sejenak hadir
dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan dengan Mayjen Pranoto di
ruang lain di rumah itu, sebelum akhirnya dibawa ke Halim
Perdanakusumah. Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam
pengakuannya, menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya
kenal’. Kehadiran Aidit di rumah Sjam malam itu, sedikit kurang jelas,
karena setelah menghadiri acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato,
Aidit yang tidak menunggu acara sampai selesai, pulang kerumah dan
menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo sampai menjelang tengah malam.
Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari rumahnya di Pengangsaan
Barat oleh dua perwira Tjakrabirawa yang menggunakan dua landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.
Acara di Istora Senayan, Musyawarah
Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung hingga agak larut. Baru
setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium untuk berpidato.
Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang disampaikan
melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak
mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan
tempat duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi
oleh para perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris
Polisi Mangil, selain Kolonel Widjanarko. Mulanya, Soekarno menyempatkan
diri ke kamar kecil. Lalu, di serambi Istora Senayan, Soekarno kemudian
menyempatkan membaca surat tersebut. Lalu masuk kembali ke ruangan.
Menurut kesaksian Widjanarko di kemudian hari, surat itu berasal dari
Letnan Kolonel Untung yang disampaikan melalui seorang kurir. Setelah
membaca surat itu, Soekarno mengangguk-angguk dan nampak bersemangat.
Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno kemudian
menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan sebuah
kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan
suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila
itu demi kepentingan perjuangan.
Bagian yang dipaparkan Soekarno malam itu
adalah mengenai pertentangan antara Pandawa dari kerajaaan Amarta
dengan Kurawa dari kerajaan Hastina, yang sebenarnya masih memiliki
pertalian darah. “Dua negara ini konflik hebat. Tetapi pimpinan-pimpinan
dan panglima-panglima Hastina itu sebenarnya masih keluarga dengan
pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima Pandawa”, demikian lanjutan
pidato Soekarno setelah sejenak melihat jam yang telah mendekat pukul
sebelas malam. “Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, harus
bertempur dengan orang-orang Hastina. Arjuna berat dia punya hati,
karena ia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya,
karena isteri Arjuna itu banyak lho. Banyak ia punya oom-oom sendiri, banyak ia punya tante-tante
sendiri. Lho memang di sana pun ada banyak wanita yang berjoang,
saudara-saudara. Bahkan gurunya ada di sana, guru peperangan yaitu
Durno, ada di sana. Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus
membunuh saudaraku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku
sendiri.
Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri. Bagaimana aku
harus membunuh saudara kandungku sendiri, karena Suryoputro sebetulnya
keluar dari satu ibu. Arjuna lemas. Kresna memberi ingat kepadanya.
Arjuna, Arjuna, Arjuna, engkau ini ksatria. Tugas ksatria ialah
berjuang. Tugas ksatria ialah bertempur jika perlu. Tugas ksatria ialah
menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya
benar di sana ada engkau punya saudara sendiri, engkau punya guru
sendiri. Mereka itu mau menggempur negeri Pandawa, gempur mereka
kembali. Itu adalah tugas ksatria, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”.
Dalam konteks situasi yang dipahami orang
per waktu itu, semestinya yang dimaksudkan bahwa yang dihadapi Arjuna
–yang sepertinya dipersonifikasikan sebagai Soekarno dari Indonesia–
adalah Malaysia yang serumpun. Namun, setelah peristiwa tanggal 30
September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang disampaikan Soekarno
itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam
peristiwa tersebut. Apalagi, Soekarno di bagian akhir pidatonya
mengucapkan serentetan kalimat, “Saudara-saudara sekarang boleh pulang
tidur dan istirahat sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan
soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam nanti….”. Di kemudian
hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan surat yang diterimanya
sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi bagian dari analisa
keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa yang beberapa jam lagi
akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya malam itu, 30 September
menuju 1 Oktober 1965. Bahkan Soe-Hokdjin (Arief Budiman) pernah memberi
catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para perwira Perguruan
Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno menterjemahkan ajaran
Kresna, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana,
sebagai “kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”.
Tetapi pada 30 September malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai
“kerjakan kau punya tugas kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau
rugi”. Apakah karena sebelum berpidato, ia telah menerima secarik surat
dari Letnan Kolonel Untung?
Pada Jumat dinihari 04.00, 1 Oktober
1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata, apa
yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ untuk kemudian
diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk
memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta, telah berubah menjadi
peristiwa penculikan berdarah yang merenggut nyawa enam jenderal dan
satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos,
dan Brigjen Soekendro ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati. Kenapa
‘penjemputan’ lalu berubah menjadi penculikan dengan kekerasan dan
mengalirkan darah ? Ternyata, tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan
Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam
gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu
Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”.
Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel
Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk
yang lebih keras.
Dalam kamus militer, terminologi “hidup
atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi
para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi
bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat
dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut.
Bilamana penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan
mereka kepada Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan
dimaksudkan oleh Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu
ada perintah “hidup atau mati”.
((( TAMAT )))
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar