“Setelah membentangkan laporan-laporan
yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal
tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal,
Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki
lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan
kerjanya”.
Sepanjang September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.
Sepanjang September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.
Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai
Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang
eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan
Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda
yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan
dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada
malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario
Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya,
memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum,
menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada
30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal
dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka
bergiliran tidur”.
Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam,
isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma.
Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk
mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada
malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin,
tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta
Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel
Ali Ebram”.
Pada pekan terakhir September Nasution
banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam
rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri
menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara
sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin
dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan Show of force dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, Ganefo –Games of the New Emerging Forces militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos.
Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan
keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal
dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain
Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.
Terlihat bahwa sepanjang September
Jenderal Nasution banyak berkeliling ke berbagai daerah, namun tanpa
mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan.
Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak
melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang
bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI
sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan
terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar
pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30
September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.
* Laporan-laporan tentang kelompok jenderal yang tidak loyal *
Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak
laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan
hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan
meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena
laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu
kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana
‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata
berkembang di luar kendalinya sendiri.
Ketika merayakan ulang tahunnya, 6 Juni
1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok
jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana
menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara
langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir.
Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul
Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf
Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan
di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali
Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian.
Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya.
Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya.
Pada waktu itu juga Presiden Soekarno
sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan
pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud
para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya
menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan
adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi
bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para
jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang
telah dilontarkannya. Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering
marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu
Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.
Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.
Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu
yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang
menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno
kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan
adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di
tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima
Tertinggi. Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah
disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R.
Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai
positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno.
Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.
Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.
Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga
memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut
mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang
ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi
Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok
jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan
yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang
tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar
merongrong Pemimpin Besar Revolusi.
Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada
Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk
menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu
apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia
kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro
Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam
mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para
jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat.
Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding
begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno
sendiri pada akhirnya.
Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan
September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan,
Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk
bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15
September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan
Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh
Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi
Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan
Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi
belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata
memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak
menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata
harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur
bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil
tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut.
Komandan Resimen
Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah
dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk
pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”.
Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen
Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke
Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu
adalah Dr Soebandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo,
Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar