President Soekarno |
SEPULUH tahun lamanya Amerika
mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung saja sejak suksesnya
Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil rnenjadikan
Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang
mengkhawatirkan Amerika.
Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi
sempurna setelah ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution menandatangani
Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang mencabut semua kekuasaan
pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya
melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan.
Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.
Penyelesaian hukum menurut ketentuan
hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana tercantum
dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII, tidak diindahkan lagi, karena
kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan mencairkan kembali
sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan pencabutan semua
kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan kegiatan politik
terhadap diri Bung Karno. Belakangan timbul pendapat yang meragukan
mengenai prosedur yang ditempuh oleh MPRS menggulingkan Sukarno dengan
alasan terlibat Gerakan 30 September 1965, karena alasan-alasan yang
dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di muka sidang
pengadilan.
Sebagai contoh, keberadaan Presiden
Sukarno di Kompleks Halim Perdana Kusumah misalnya, daerah yang
dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap sebagai salah satu bukti
keterlibatannya. Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan
Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang membawa Bung Karno ke
Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu diambil sesuai dengan
ketentuan “Operating Standing Procedure” (OSP) Tjakrabirawa, yaitu dalam
keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara yang paling
mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama,
diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby
pesawat terbang Kepresidenan “Jet Star” yang setiap saat dapat
menerbangkan Presiden ke tempat lain yang lebih aman.
Tuduhan lain di samping keterangan
Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden, seperti yang sudah diuraikan
di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU)
atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel (KKO)
Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno pada
malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri,
komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30
September, di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah
Besar Teknik yang dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.
Keterangan Widjanarko ini dibantah keras
oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang
malam itu bertanggungjawab atas pengawalan dan keselamatan Presiden,
yang memastikan bahwa sama sekali tidak ada adegan seperti yang
dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara berlangsung di
ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden. Di kemudian hari, keterangar-keterangan
yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno dalam Gerakan 30
September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH., bersifat audita,
artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa
dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga
pembuktiannya mengambang.
Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo
dalam Pelengkap Nawaksara tentang “adanya oknum-oknum yang tidak benar”
bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai sindiran atas
dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif mengenai sikapnya.
Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang kurang baik,
sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan sekali
ikut berperan.
Ini terbukti setelah keadaan menjadi
lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution memberikan keterangan sambil
mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang
Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah memerintahkan
supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965,
memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui sebelumnya akan
terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak mengetahui juga
akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya.
Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan
dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa dia saja yang diminta
pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan Menteri
Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal
A.H. Nasution?
Lalu Presiden Sukarno bertanya :
“Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa Idul Adha di halaman Istana Jakarta? Siapakah
yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas
dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?? Siapakah yang bertanggungjawab
atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat gedung Stanvac
(Jakarta)?? Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?”
Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa
usaha hendak membunuhnya dan siapa yang harus dimintai tanggungjawab
atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti lain mengenai “adanya
oknumoknum yang tidak benar”. Geofrey Robinson yang sudah banyak
dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah telegram dari Kedutaan
Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada Department of State
(DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru saja
diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S.
Parman, yang mengungkapkan kuatnya “perasaan dalam Angkatan Darat”
terhadap pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.
Angkatan Darat, menurut telegram itu,
sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk membangun Angkatan ke-V,
karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung untuk “mengimbangi
gerakan PKI”. Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana pun, tidak ada
kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan
supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan
Sukarno tetap utuh. Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel
Kolko yang menulis tentang Indonesia dengan mengutip dokumendokumen
Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak dirahasiakan lagi mengenai
debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965, mengatakan
tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta,
Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam
telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang
sangat rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk
megambil alih kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu
baru datang dari pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu
dengannya. Ia berkata, sekali pun telah ada rencana rencana tentang
contingency (kemungkinan) basis dengan perhatian kepada post Sukarno
era, terdapat satu sentimen kuat di antara segment top military command
untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno turun.
Dapat dipercaya, bagaimana pun
dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima laporan mengenai
kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan baginya
untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30
September, karena “adanya oknum- oknum yang tidak benar”.
Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan
Belanda Willem Oltmans, beraudiensi ke Istana (dikatakannya sudah diulas
dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada Bung Karno supaya tidak
sepenuhnya mempercayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno meneruskan saja
percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa Subandrio lah yang
membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap Malaysia.
William Oltmans menceritakan juga bahwa
di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal yang menyuruh orang-orang seperti
Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan Washington untuk meyakinkan
orang-orang Belanda dan Washington supaya menaruhkan kartunya pada
Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi Presiden dan Bung
Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari Panjaitan
dan Parman, telah dimulai sejak 1961.
“Permainan ini berjalan terus dan
Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang
mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA
bernama Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus
dilenyapkan. Saya tetap hidup dan Verrips terbunuh"
(*) Resensi Willem Oltmans atas buku “Otobiografi Soeharto”, edisi bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.
(*) Resensi Willem Oltmans atas buku “Otobiografi Soeharto”, edisi bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.
Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya
sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington
atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui
dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.
sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington
atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui
dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.
Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini
akhirnya disampaikan oleh Willem Oltmans kepada Bung Karno. Dengan
demikian, Bung Karno tidak asal menuduh begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang “adanya oknumoknum yang tidak benar”.
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia
sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan sengketa Irian Barat dengan
Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan wakil Amerika di PBB, E.
Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak perlu lagi
membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia
berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya
itu, pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang
waktu itu memang lowong.
Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika
Sukarno tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, maka Dr. Subandriolah
yang berambisi menggantikannya.Tapi Gerakan 30 September 1965 yang
gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio manjadi buyar. Dokumen Amerika
mengungkapkan bahwa
sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menyebabkan banyak
Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang ditahan, ABRI sudah merencanakan
hendak menangkap Dr. Subandrio, karena menganggap dia termasuk biang
keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sebuah telegram dari Kedutaan Besar
Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966) ditujukan kepada Menteri
Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut :
1. Minta perhatian Departemen Luar
Negeri dan Duta Besar Green untuk …. (tidak dikutip, pen.) sedang kita
sudah tentu tidak dalam kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita
sebenarnya harus di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat
dipercaya dan saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.
2. Sudah ada laporan terdahulu,
paling sedikit tanggal 10 Nopember yang lalu (1965) bahwa Tentara akan
“mengambil” Subandrio. Ini ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang
merasa lebih putus asa. Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan
mereka untuk sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk
mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan
kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula laporan
menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih bersatu dari
pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan Subandrio. Ia
menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara pasti mempunyai
kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu cara, kalau memang
mempunyai kemauan untuk melakukannya.
3. Penyingkiran Subandrio tidak akan
seluruhnya mengubah kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih
harus menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi,
tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih
banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros Peking,
kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak terhadap
anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan kepadanya dan dia
mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan kalau ia akan mencoba
menyerang tentara sebagai pembalasan, kenyataan bahwa tentara sudah
melakukan langkah pertama, akan memudahkan langkah kedua terhadap
Sukarno sendiri.
4. Kami tidak tahu sifat atau
penentuan waktu untuk bergerak, akan tetapi menurut perkiraan
pendahuluan kami, Tentara mempunyai kemampuan untuk melakukannya tanpa
menimbulkan perang saudara atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan
cepat dan efektif terhadap Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak
akan ditentang oleh unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau
Sukarno tidak cedera. Akan tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan
yang tidak diduga atau ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi
peringatan kepada orang-orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri
dan kami akan mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan
perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada tindakan
lebih lanjut pada waktu ini.
CP-1
Lydman
Catatan :
Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi,
26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37 pagi, 2612166. Gedung Putih
menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika ” untuk berdiam diri” kalau
Tentara Indonesia “mengambil” Subandrio, 65)
65) The Declassified Documents Respective
Collection, 1977, # 129 D, 26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L
Bradley dan Mochtar Lubis dalam “Dokumen-dokumen pilihan tentang politik
luar negeri Amerika Serikat di Asia”, hal. 177-179.
Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak
menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden
menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan
K.H.) “Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB” (terbit
April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak
Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan
hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut ” Durno- durno”-nya.
Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD
pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.
menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden
menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan
K.H.) “Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB” (terbit
April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak
Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan
hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut ” Durno- durno”-nya.
Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD
pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.
Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten
Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD
untuk pelaksanaannya.Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak
Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD
untuk pelaksanaannya.Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak
Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat
Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan
tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.
Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan
tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.
Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan
Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio,
tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet. Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.
Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio,
tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet. Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.
Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru
ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah
Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh “Tjakrabirawa”, dibawa ke Istana
Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden
berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha
menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.
ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah
Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh “Tjakrabirawa”, dibawa ke Istana
Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden
berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha
menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.
Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh
Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan “Tempo” (20 Oktober
1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam
statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa
inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap
salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan
penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan “Tempo” (20 Oktober
1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam
statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa
inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap
salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan
penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden,
Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang
tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan
Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran
hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap
Subandrio, gagal.
Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang
tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan
Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran
hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap
Subandrio, gagal.
Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan
lagi kepada wartawan “Forum Keadilan” 66) bahwa Amirmachmud sebagai
Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang menempatkan pasukan tanpa
tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata Kemal Idris, dia
memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan, sedang
Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas
teritorialnya. “Forum Keadilan”, 22 Juni 1993
Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris
dapat perintah supaya menarik pasukan itu. Yang memerintahkan penarikan
pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden Panggabean (Pejabat Panglima
Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima KODAM V/jaya. Kemal Idris
tidak mau melaksanakannya."Kalau pasukan saya tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi??", kata Kemal Idris.
Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap
berada di sekitar Istana, maka Bung Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung
Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada Bung Karno yang dibawa oleh 3
Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amir Machmud), isinya kira-kira
menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai keamanan, kalau tidak
diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas G30S/PKI dan
mempertanggung-jawabkan keamanan.
Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: “Iya,
cuma sampai di situ saja, tidak berarti dia (Soeharto) mengambil alih
kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa dipulihkan, kekuasaan itu harus
dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS menghendaki lain”.
Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amir Machmud, "Apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab “bisa”, sambil memberikan jaminan: AMAN!
Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang
diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno di Bogor, sekali lagi Bung
Karno bertanya kepada Amir Machmud, bagaimana situasi sebenarnya, yang
dijawab oleh Amir Machmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia dibentak oleh
Bung Karno sambil mengatakan : “Kau bilang aman, aman, tapi demonstrasi jalan terus”.
Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang
menurut Kemal Idris membawa surat Soeharto menyebabkan lahirnya Surat
Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi MEN/PANGAD Jenderal
Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang menyebabkan SUPERSEMAR
keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana. Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk
disampaikan kepada Pak Harto, Amir Machmud mengatakan: “Kok ini penyerahan kekuasaan”.
Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah
SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amir Machmud di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.
SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amir Machmud di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.
Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR
melaksanakan perintah itu, pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI,
disusul dengan penahanan 15 Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan
Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan dulu dengan Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam SuratPerintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV
MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya
sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret
1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena
Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan
No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara.
Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR. Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi situasi secara tepat.
MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya
sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret
1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena
Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan
No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara.
Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR. Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi situasi secara tepat.
Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno
yang meleset mengenai perkembangan situasi yang diucapkannya dalam
Amanat Proklamasi 7 Agustus 1966. Bung Karno berkata :
” …….Tahun 1966 ini, – kata mereka -,
ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden Sukarno telah dijambret
oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup; Presiden Sukarno
telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah ditelikung
oleh satu “triumvirat” yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan
Hamengku Buwono dan Adam Malik. Dan ” Perintah 11 Maret” kata mereka:
“Bukankah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?”
Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS
yang lalu, mereka – reaksi musuh-musuh kita – mengharapkan, bahkan
menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang MPRS itu sedikitnya
akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno sampai gundul sama
sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari kedudukannya semula?
Kata mereka dalam bahasa mereka, “The
MPRS session will be the final setlement with Sukarno”, artinya sidang
MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir – laatste afrekening –
terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang
sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan.
Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan.
Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu “transfer of authority”. Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan …….bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of authority. Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini...
Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu “transfer of authority”. Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan …….bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of authority. Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini...
Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang
mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian mana meleset sama sekali. Yang
benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh Bung Karno. Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat
Perintah 11 Maret, sama sekali tidak membuktikan kecelenya musuh,
seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung
Karno memberikan penilaian yang benar mengenai sebab musabab terjadinya
Gerakan 30 September 1965, antara lain karena ada oknum- oknum yang
tidak benar dalam tubuh kita sendiri.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar