Bung Karno & Onassis |
Menjawab pertanyaan ini tiada salah
kiranya kalau kita mundur sejenak menuju Indonesia tahun 1964, bulan
Oktober. Dalam kunjungan kerja ke Roma, Bung Karno tiba-tiba saja
diundang oleh miliarder kapitalis Aristoteles Onasis ke kapalnya yang
mewah, “Christina”. Hingga hari ini tak pernah terungkap, siapa
pemrakarsa pertemuan Presiden Republik Indonesia itu dengan Onasis,
mengingat keduanya tidak pernah menjalin persahabatan sebelumnya.
Hanya sebuah epekulasi yang mengatakan,
besar kemungkinan, kalangan seniman (pelukis, bintang film) yang
menjembatani pertemuan itu. Mengingat dalam hampir setiap kunjungannya
ke Roma, Bung Karno selalu meluangkan waktu bertemu para seniman
setempat.
Singkatnya, kapal mewah “Christina”
berlajar menuju Laut Tengah. Onasis didampingi Maria Callas, bintang
opera bersuara emas yang cantik jelita. Sekilas, pertemuan itu
berlangsung sangat akrab, laiknya perjumpaan dua karib lama. Di atas
kapal itu pula terjadi serangkaian pertemuan yang sangat produktif,
mulai dari jamuan makan sampai pertemuan empat mata Bung Karno – Onasis.
“Saya tidak mengira, mereka (Onasis dan
Callas) mengetahui begitu banyak tentang Indonesia dan diri saya,” ujar
Bung Karno tak lama setelah pertemuan usai.
Tentang materi pertemuan, Bung Karno
menyinggung sekilas, bahwa intinya, Onasis menjajagi kemungkinan
menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bidang, utamanya
pertambangan. Onasis bahkan siap menanamkan uangnya bermiliar-miliar
dolar AS di bumi Indonesia. Terlebih, dalam Undang Undang Penanaman
Modal Asing tahun 1958, cukup banyak peluang asing berinvestasi di bumi
Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Onasis
terang-terangan menghendaki adanya jaminan dari Presiden Sukarno bahwa
perusahaan dan modalnya tidak akan dinasionalisasikan dalam jangka 35
tahun. Syarat itulah yang tidak serta merta diterima Bung Karno. Sebab,
bunyi Undang Undang memang membatasi semua izin usaha sempai 10 – 15
tahun, dengan catatan dapat diperpanjang hanya jika perusahaan itu
menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. “Jangan sampai modal asing
atau modal domestik swasta menduduki posisi yang dapat menentukan
perekonomian kita,” tandas Bung Karno.
Sikap Bung Karno jelas, kemandirian
ekonomi harus menjadi tiang utama bangsa ini. Tidak heran jika Bung
Karno banyak menunda izin penanaman modal asing, sebelum jelas gambaran
untung dan ruginya dalam kaitan kelestarian alam, perluasan daerah
pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.
Hingga titik paragraf di atas, tegas
tersimpulkan, Bung Karno tidak anti modal asing, tetapi setiap investasi
asing, harus menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. Jika investasi
asing justru mengakibatkan ketergantungan serta hanya memperkaya
sekelompok kaum kapitalis, Bung Karno akan tegas menolak.Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar