Soekarno - Hatta |
Terlalu banyak hal yang sudah dilakukan
oleh Bung Karno, merintis kemerdekaan, memimpin jalannya revolusi di
Indonesia dan banyak hal lagi yang harus dia lakukan demi Indonesia yang
baru merdeka.
Namun demikian Bung Karno sebagai
Presiden RI, Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Tertinggi ABRI masih
harus melaksanakan tugas yang sangat berat yakni menjadi mak comblang
Bung Hatta, dan mungkin pada hakekatnya tugas ini jauh lebih berat
dibangding tugas lainnya.
Di Palestina ada Yasser Arafat, di
Indonesia ada Mohamad Hatta. Keduanya sama-sama “wadat”, berikrar tidak
akan menikah sebelum negaranya merdeka. Karenanya, Bung Karno, dalam
suatu kesempatan yang rileks pasca kemerdekaan, menanyakan tentang calon
pasangan hidup. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, Indonesia sudah
merdeka. Kedua, usia Hatta tidak muda lagi, 43 tahun.
Hatta tidak menampik topik melepas masa
lajang. Terlebih, Bung Karno pun menyatakan siap menjadi mak comblang,
bahkan melamarkan gadis yang ditaksirnya. Ketika Bung Karno bertanya
kepada Hatta ihwal gadis mana yang memikat hatinya, Hatta menjawab,
“Seorang gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Institut
Pasteur Bandung. Dia begini, begitu…. tapi saya belum tahu namanya.”
Usut punya usut, selidik punya selidik,
gadis Parahyangan yang ditaksir Hatta adalah putri keluarga Rahim (Haji
Abdul Rahim). Maka, ketika kira-kira sebulan setelah proklamasi Bung
Karno berunjung ke Bandung, ia sempatkan mampir ke rumah keluarga Rahim
di Burgermeester Koops Weg, atau yang sekarang dikenal sebagai Jl.
Pajajaran No. 11. Bung Karno bertamu hampir tengah malam, jam 23.00.
Meski sempat diingatkan ihwal jam yang
menunjuk tengah malam, tapi Bung Karno tetap keukeuh bertamu malam itu
juga. Ia berdalih, tidak menjadi soal, karena ia kenal baik dengan
keluarga Rahim. Persahabatan lama yang telah terjalin sejak Bung Karno
kuliah di THS (sekarang ITB) Bandung. Apa lacur, setiba di rumah
keluarga Rahim, ia disambut dampratan dari Ny. Rahim. Sebuah dampratan
antar teman, mengingat Bung Karno datang bertamu tidak kenal waktu.
Untuk mereda dampratan tadi, dipeluklah
Ny. Rahim dan diutarakanlah niatnya, “Saya datang untuk melamar.” Tuan
dan Ny. Rahim bertanya serempak, “Melamar siapa? Untuk siapa?” Bung
Karno langsung menjawab, “Melamar Rahmi untuk Hatta.” Dalam kisah lain
diceritakan, adik Rahmi, yang bernama Titi, sempat mempengaruhi Rahmi
supaya menolak lamaran Bung Karno, dengan alasan, Hatta jauh lebih tua
dari Rahmi.
Berkat “rayuan” Bung Karno pula akhirnya
Rahmi menerima pinangan tadi. Bung Karno meminta Rahmi melihat Fatmawati
yang juga berbeda usia cukup jauh dengan Bung Karno, tetapi toh mereka
bahagia. Alkisah, Hatta dan Rahmi resmi menikah di Megamendung pada
tanggal 18 November 1945, hanya disaksikan keluarga besar Rahim,
keluarga besar Bung Karno dan Fatmawati.
Dari pernikahan itu, lahirlah putri
pertama mereka, Meutia Farida yang lahir di Yogyakarta 21 Maret 1947.
Nama Meutia datang dari neneknya yang asli Aceh. Sedangkan Farida
diambil dari nama permaisuri Raja Farouk dari Mesir yang cantik jelita.
Setelah itu, disusul kelahiran putri keduanya, Gemala, dan putri ketiga
Halida Nuriah.
Berbanggalah keluarga besar Bung Hatta,
karena penyambung ikatan pernikahannya dilakukan oleh seorang pemimpin
legendaris Bung Karno.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar