Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi 26
September 1965, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen
Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan
Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”,
ujar Soekarno. Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan
berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang
tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah
penindakan.
Namun, rencana penindakan itu seakan
jalan di tempat. Barulah pada tanggal 29 September, tampaknya ada
sesuatu yang dapat dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen
Mustafa Sjarif Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan ‘pasukan’
yang dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera
bertindak terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut.
Menurut kesaksian Kolonel KKO Bambang
Setijono Widjanarko, dalam pertemuan pukul 11 pagi itu, selain Brigjen
Soepardjo hadir pula Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani,
yang menyatakan kesediaannya membantu. Akan tetapi, kesaksian ini
dibantah Omar Dhani, karena sewaktu ia menghadap Soekarno, ia tidak
melihat kehadiran Soepardjo di istana. Artinya, mereka menghadap pada
jam yang berbeda. Omar Dhani sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan
kepada Presiden Soekarno tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari
daerah –Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan
alasan untuk kepentingan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober,
yang dianggapnya aneh karena diperlengkapi peralatan tempur garis
pertama. Selain itu, ia justru telah menugaskan Letnan Kolonel Heru
Atmodjo yang menghadap di kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30
September 1965 untuk menemui Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan
rencana dan tujuan sebenarnya dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo
di ibukota negara seperti yang dilaporkan oleh Asisten Direktur
Intelijen AU itu.
*** Akhirnya, darah mengalir ***
Perintah-perintah
penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno kepada
beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang
terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti
berputar-putar saja tanpa hasil konkrit. Pulang-pergi, jenderal-jenderal
seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen
Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian
panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa
memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak loyal yang merencanakan
semacam tindakan makar terhadap Soekarno. Ketika Soekarno menanyakan
kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka
selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberikan
penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri
tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan,
persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.
Brigjen Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps
Polisi Militer kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan
–yang juga belum jelas bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum
menunjukkan kesiapan. Apakah penindakan itu nantinya berupa penangkapan
oleh Polisi Militer, lalu diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya belum
jelas. Akan tetapi dalam pada itu, melalui Brigjen Sabur, dana dan
fasilitas berupa kendaraan baru dan sebagainya, telah mengalir kepada
Brigjen Soedirgo. Hanya urusan uang dan fasilitas itu yang merupakan
kegiatan yang jelas saat itu.
Karir Brigjen Soedirgo selanjutnya cukup
menarik. Oktober 1966, setelah Soeharto mulai memegang ‘sebagian’
kekuasaan negara selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, adalah
Soeharto sendiri yang menarik Soedirgo menjadi Deputi KIN (Komando
Intelijen Negara). Mei 1967 KIN ini dilebur menjadi Bakin (Badan
Koordinasi Intelijen Negara), dan cukup menakjubkan bahwa Soeharto yang
telah memegang kekuasaan negara sepenuhnya menggantikan Soekarno, malah
mengangkat Soedirgo yang sudah berpangkat Mayor Jenderal menjadi Kepala
Bakin yang bermarkas di Jalan Senopati di Kebayoran Baru Jakarta
Selatan. Agaknya Soeharto memiliki kebutuhan khusus dari Soedirgo yang
di tahun 1965 mendapat perintah menindaki para jenderal yang tidak
loyal. Akan tetapi, 21 Nopember 1968, Soeharto memerintahkan pencopotan
Soedirgo dari jabatannya di badan intelijen dan setelah itu Soedirgo
dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo, beberapa jenderal lain yang di
tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno,juga dikenakan penahanan.
“Gajah tidak pernah lupa”, kata pepatah. Sebagai pengganti Soedirgo,
Soeharto mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro
di Jawa Tengah, Yoga Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan
Jenderal.
Ada kesan, perintah menindak yang
berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak
ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul
dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir
Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang
diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan,
melalui trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk
dilaksanakan, perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan
khalayak yang cukup banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah
rahasia. Soekarno pasti tahu itu.
Namun sementara itu, perintah serupa yang
disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4 Agustus
1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru menggelinding.
Penyampaian Soekarno kepada Untung ini sedikit tenggelam oleh ‘insiden’
pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah pertemuan. Bahkan,
fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari menimbulkan keraguan
apakah betul Untung hari itu memang bertemu dan mendapat perintah dari
Soekarno. Tetapi faktanya, segera setelah kepada Untung oleh Soekarno
ditanyakan kesediaan dan kesiapannya untuk bertindak menghadapi para
jenderal yang tidak loyal yang tergabung dalam apa yang dinamakan Dewan
Jenderal, ia ini segera menghubungi Walujo dan menceritakan permintaan
Soekarno kepadanya. Walujo, orang ketiga dalam Biro Khusus –Biro Chusus– PKI, lalu meneruskan perkembangan ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus.
Sjam Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah punya point-point
mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan kepentingan partai dan
sebagai hasil diskusinya dengan kalangan terbatas pimpinan partai.
Khusus mengenai Letnan Kolonel Untung, baru bisa dibicarakan Sjam dengan
Aidit, sepulangnya Ketua Umum CC PKI itu dari Peking. Dan rapat
terbatas membahas munculnya sayap militer itu serta perkembangan terbaru
sepulangnya Aidit dari Peking itu mulai dilakukan pada 9 Agustus.
Rapat pertama Biro Khusus PKI dengan
Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai dilakukan 6 September 1965 di
Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan kedua, Sjam dan Pono.
Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan Kolonel Untung,
adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit serta seorang perwira
artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat
malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan
Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah. Mendapat uraian dari
Sjam Kamaruzzaman mengenai situasi terakhir negara, serta adanya
sejumlah jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan
mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, para perwira
menengah itu menyepakati suatu rencana gerakan penangkalan.
Seluruhnya, dengan berganti-ganti tempat,
termasuk di kediaman Sjam di Salemba Tengah, hingga tanggal 29
September berlangsung sepuluh pertemuan. Hampir sepenuhnya
pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan militer, karena sejak
awal mereka sepakat bahwa aspek politik dan ideologis ditangani oleh
Sjam dan Pono saja. Rangkaian pertemuan itu pun praktis tak memiliki
persentuhan yang nyata dengan PKI, terkecuali kehadiran Sjam dan Pono
dari Biro Khusus. Secara berurutan, setelah pertemuan pertama 6
September, berlangsung pertemuan kedua 9 September, ketiga 13 September,
keempat 15 September, kelima 17 September, keenam 19 september, ketujuh
22 September, kedelapan 24 September, kesembilan 26 September dan
kesepuluh 29 September 1965.
Sampai pertemuan keempat di rumah Kolonel
Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas pasukan-pasukan mana yang
bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada pertemuan kelima, juga
di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan dengan lebih jelas komposisi
pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut perhitungan
Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi. Disebutkan
kekuatan yang akan dikerahkan terdiri dari Batalion 530 dari Divisi
Brawijaya, Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari
Brigif I Kodam Jaya yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi dari
satuan Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung sendiri, satu kompi
di bawah Kapten Wahjudi serta 1000 orang sukarelawan yang telah dilatih
oleh Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya. Penetapan D-Day dipengaruhi
oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan yang dilatihnya masih
memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai tingkat combat ready.
Faktor lain, karena Letnan Kolonel Untung merasa masih ada kekurangan,
dan untuk itu ia mengharapkan adanya satu kesatuan kavaleri dengan 30
tank atau panser. Untung mengharapkan bantuan itu datang dari Divisi
Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang keberhasilan
memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam Siliwangi.
Tanpa menyebutkan nama, pada pertemuan
keenam di rumahnya, Sjam menyebutkan adanya dukungan seorang jenderal
terhadap gerakan ini. Dan pada pertemuan ketujuh, 22 September,
ditetapkan pembagian tugas per pasukan yang diberi penamaan Pasopati,
Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas yang paling khusus, ‘penjemputan’ para
jenderal target, diserahkan kepada Pasopati.
Penetapan rencana pembentukan Dewan
Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24 September, di rumah
Sjam. Pertemuan yang terjadi tujuh hari sebelum 1 Oktober 1965 itu,
termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai
puncaknya dengan kehadiran lengkap seluruh pendukung gerakan dan
tercapainya kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi. Semula nama yang
dipilih adalah Dewan Militer, tetapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan
dan mengusulkan penggunaan nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih
luas, tidak terdiri dari kalangan militer saja. Semula, dalam Dewan
Militer, selain nama para perwira pelaksana gerakan, disebutkan nama dua
panglima angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Laksamana
Madya Laut RE Martadinata. Itulah pertama kali nama Aidit dikaitkan
dengan gerakan, meskipun hanya melalui ucapan Sjam, tapi sejauh hingga
saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar