Beberapa waktu sebelum tanggal 30
September 1965, Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani
bertemu bertiga dengan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad
Yani dan Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo. “Saya
sudah ngomong, ada sesuatu yang akan terjadi”, khususnya dalam kaitan
dengan Angkatan Darat, jadi hendaknya berhati-hati. Yani tampaknya tetap
tenang saja.
Omar Dhani menggambarkan bahwa hubungannya dengan Yani
baik sekali hingga saat itu. Suatu ketika, sewaktu berbincang-bincang
dengan Panglima Angkatan Laut Laksamana Laut Martadinata dan Panglima
Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto, pada suatu kesempatan lain,
tanpa kehadiran Yani, mengenai The incoming leader after
Soekarno, dengan serta merta Omar Dhani menyebutkan nama Ahmad Yani.
“Kami semua sepakat, dialah yang paling pantas”.
Tapi, sekitar waktu itu
Omar Dhani sendiri pernah juga disebut-sebut namanya untuk posisi
Presiden, antara lain oleh pimpinan PKI. “Saya tidak pernah memikirkan.
Tidak pernah mencalonkan diri”. Meskipun sempat membicarakan the next,
secara umum para Panglima tersebut sampai saat itu menurut Omar Dhani,
tidaklah pernah memikirkan penggantian Presiden.
Soal siapa yang bisa dan pantas
menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak hanya nama Yani –atau Omar
Dhani– yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara formal adalah orang
kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965, justru
menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni
Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Spekulasi
yang berkembang, “jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu
memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara Yani
dan Nasution”.
Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap
disebutkan termasuk yang memiliki peluang untuk itu. “Yang tidak banyak
diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira senior yang
paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”.
Sampai-sampai Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus
gagasan ‘Negara dalam Negara’. Selain sangat berpengalaman di bidang
militer, Nasution juga matang berpolitik. “Dia pencetus ide Dwi Fungsi
ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan
manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan
militer, agar tentara bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara
efektif di pusat dan daerah”.
Pertemuan langsung antara Soekarno dengan
Nasution yang terakhir adalah pertengahan September 1965, tatkala
Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa Nusantara Aidit
di Istana Negara. Tak ada hal yang istimewa dalam pertemuan sepintas
dalam keramaian suasana upacara kala itu, di antara keduanya, kendati
saat itu dalam benak Soekarno nama Nasution pasti terekam dengan
konotasi tertentu, karena nama Nasution tercatat dalam laporan sebagai
salah satu anggota Dewan Jenderal. Soekarno bahkan meletakkan Nasution
sebagai otak di belakang segala sesuatu yang terkait dengan Dewan
Jenderal, meskipun setiap kali memerlukan penjelasan, Soekarno selalu
memintanya kepada Yani. Peristiwa agak istimewa, justru terjadi antara
Aidit dengan Nasution. Setelah selesai upacara, menurut memori Nasution,
Aidit datang kepadanya dan menanyakan “Manakah dari pita-pita di dada
Jenderal Nasution yang mengenai operasi Peristiwa Madiun 1948?”.
Nasution menunjukkan pita itu dan Aidit segera menggandeng tangan
Jenderal Nasution seraya meminta para wartawan mengambil gambar mereka
berdua.
*** Soekarno, Aidit dan Jenderal Nasution ***
Hanya beberapa hari sebelumnya, 13
September 1965, juga di istana, Presiden Soekarno menyerang Jenderal
Nasution –meskipun tanpa menyebut nama. Dalam pembukaan pertemuan
Gubernur se-Indonesia, Soekarno kembali mengulangi tentang adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni sebarisan
‘jenderal brengsek’, yang semua orang tahu terutama ditujukan kepada
Nasution. Ini bukan pertama kali dilontarkan Soekarno, terutama sejak ia
menerima informasi-informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang
bermaksud menggulingkan dirinya. Pada waktu yang bersamaan para pemimpin
PKI melontarkan pernyataan-pernyataan senada, sehingga tercipta opini
bahwa Soekarno memang betul-betul telah seiring sejalan dengan PKI,
sesuatu yang kelak harus ditebus Soekarno dengan mahal.
Praktis sepanjang September 1965, PKI
menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama
kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Nasution. Seraya
menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada Soekarno,
Harian Rakyat 4 September menulis bahwa para perwira tentara itu dalam
pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau melakukan kup.
Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah Aidit sendiri yang
menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan mengatakan “Kita berjuang
untuk sesuatu yang pasti akan lahir.
Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, Aidit di depan sidang nasional Sobsi mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”.
Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.
Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar”. Ucapan ini diperkuat Anwar Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, Aidit di depan sidang nasional Sobsi mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi, kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”.
Di depan karyawan BNI, 17 September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.
Paling agresif adalah ucapan-ucapan Aidit
di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis harus
berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat. Bertindak
dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”. Pada acara itu
Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa waktu
sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit malam
itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam II
Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu
mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu
lagi dipersoalkan lebih lanjut. Menurut Leimena, bukankah beberapa hari
sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya
terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya ? Namun
Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan
sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI
tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja.
Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri
dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI
“ternyata menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang
dan membubarkan HMI.
Yang kemudian ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial Harian Rakyat
pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan
negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat
terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di
muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti
berhasil”. Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang
rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu
hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi
pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa
yang hitam putih termuat dalam Harian Rakyat, di
belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar,
telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI
sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.
Jenderal Nasution yang pada bulan
September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik
kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak
mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang
ditujukan pada dirinya. Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya
dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga
didiamkan Nasution.
Dalam suatu rapat raksasa 29 September
–suatu model pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang
dihadiri lebih dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari
pelajar yang dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk
hidung terhadap kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor. Empat nama
setan kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten
Iskandar dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin,
yang nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio.
Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein
Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis.
Nasution
memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil
milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu,
“didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”.
Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa
Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang
untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar