bertanya siapakah marhaen itu??"
Marhaenisme adalah ajaran Bung Karno yang
diperoleh dengan tidak ada niatan khusus dan menggebu untuk membuat
suatu analisa terhadap apa, dan siapa rakyat Indonesia saat itu pada
umumnya. Tuhan benar-benar menjadi pengendali terbentuknya faham
Marhaenisme ini.
Mungkin tidak akan terjadi perisitiwa
pagi hari itu, kalau saja ia tidak memendam kecewa terhadap praktik
pendidikan tinggi yang ditempuhnya. Kecewa terhadap mata kuliah teknik
sipil yang dicekokkan dosen-dosen Belanda kepadanya. Hari itu, ia
putuskan bolos kuliah. Anda mungkin bertanya, kekecewaan seperti apa
yang dia rasakan selama kuliah di THS? Kita bahas dalam kesempatan yang
lain.
Sekarang… kembali ke… Mar….haen. Pagi
hari di saat pikiran suntuk, Sukarno muda mengayun langkah, mengambil
sepeda onthel, dan mendayungnya tanpa tujuan. Kebetulan saja arah laju
sepeda menuju Bandung Selatan, suatu daerah pertanian yang padat. Itu
terjadi tahun 1920-an.
Suasana Bandung Selatan ketika itu,
adalah suasana daerah pertanian. Petani mengerjakan sawahnya yang kecil,
yang masing-masing luasnya kurang dari sepertiga hektare. Tak dinyana,
pandangan Sukarno tertumbuk pada sosok petani muda yang tengah giat
mencangkul. Dia seorang diri. Bung Karno pun tertarik menghampiri.
Di pinggir galangan sawah, Bung Karno
berdiri termenung, menatap petani muda yang terus dan terus mengayunkan
cangkul ke atas-ke bawah. Sejurus kemudian, Sukarno mendekat. Lebih
dekat ke arah petani tadi. Demi mengetahui seseorang menghampiri, petani
tadi menghentikan aktivitas mencangkul, dan melempar pandang ke arah
Sukarno. Terjadilah tegur-sapa, sebuah tegur-sapa ramah khas Indonesia.
Tidak ada ekspresi curiga, melainkan seringai sungging senyum pada kedua
orang itu.
“Saha nu kagungan ieu sadayana nu dipidamel ayeuna ku aranjeun,”
tanya Bung Karno dalam bahasa Sunda yang fasih. Artinya kurang lebih,
“Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?”
“Saya, juragan,” jawab petani itu.
Bung Karno bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki tanah inibersama-sama dengan orang lain?”
“O, tidak gan. Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kaubeli?”
“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun.”
Sejenak Bung Karno terdiam. Demi melihat
“tamu sawah” itu diam, si petani pun kembali mencangkul. Menggali dan
menggali. Sedangkan Sukarno pun melakukan penggalian mental. Menggali
teori. Mencangkul filosofi di otaknya, hingga mengalirkan
pertanyaan-pertanyaan lain yang bertubi: “Bagaimana dengan sekopmu?
Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?
Petani muda kembali menghentikan kegiatan, dan menjawab, “Ya, gan.”
“Dan cangkulnya?”
“Ya, gan.”
“Bajak?”
“Saya punya, gan.”
“Untuk siapa hasil yang kau kerjakan.”
“Untuk saya, gan.”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
Petani mengangkat bahu mengernyitkan
dahi…
“Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri
dan empat orang anak?”
“Apakah ada yang dijual dari hasilmu.”
“Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Kau mempekerjakan orang lain?”
“Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”
“Apakah engkau pernah memburuh?”
“Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih-payah saya semua untuk saya.”
Kemudian Bung Karno menunjuk sebuah gubuk kecil seraya bertanya, “Siapa yang punya rumah itu?”
“Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu,” kata Bung Karno menyaring pikiran-pikiranya sendiri, “Semua ini engkau punya?”
“Ya, gan.”
Setelah itu, Bung Karno menanyakan nama
petani muda itu. Dan petani itu menjawab, “Marhaen”. Nama Marhaen adalah
nama biasa. Sama biasanya dengan nama Jones atau Smith di Amerika. Akan
tetapi, dari dialog dengan Marhaen yang rakyat jelata itu pula Bung
Karno mendapat ilham untuk rakyatnya. “Aku akan memakai nama itu untuk
menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu!” Pikir Bung
Karno.
Posted By :Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar