Makna pandangan pertama BK tak dapat
ditebak. Sekadar perhatian, atau menanamkan simpati bagi perempuan yang
kelak diperistrinya. Kadang-kadang, ia melakukan hal yang tak terduga.
Saat Fatmawati minta pendapat pada BK tentang pinangan anak wedana
terhadapnya, BK malah menjawab pinangan itu untuk dirinya sendiri. BK
minta Fatmawati menolak pinangan itu, dan menjanjikan waktu enam bulan
untuk ”menyelesaikan urusan” dengan Inggit Ganarsih, istri pertamanya.
Hartini merasa, perhatian BK natural,
tidak dibuat-buat, saat pertama kali ia bertemu dengannya di Salatiga.
Ketika bersalaman, BK bertanya: rumahnya di mana, anaknya berapa,
suaminya siapa. Setelah pertemuan itu, datang sepucuk surat untuk
Hartini. Lewat surat-menyurat itulah, hati mereka bertaut. Yurike Sanger tak menduga saat orang
nomor satu di Indonesia kala itu menghampirinya ketika ia menjadi
anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan pemuda-pemudi berpakaian
daerah sebagai pagar betis, saat Presiden Soekarno ada acara resmi
dengan tamu negara.
BK menghentikan langkahnya di depan
Yurike saat berjalan menuju mobilnya. ”Siapa namamu?” ”Yurike, Pak,”
jawabnya sambil tergagap. Sebelum BK pergi, ia sempat berpesan: Yurike
tak boleh memakai nama berakhiran ”ke” atau ”ce”. ”Pakai Yuri saja, ya,”
pesan BK. Pandangan pertama dan perhatian sangat manusiawi yang
dilakukan BK itu membuat Yurike takluk ketika BK meminangnya. Banyak hal yang membuat para istri dan
mantan istri BK menilai BK adalah suami dan bapak yang bertanggung
jawab. Sikapnya penuh perhatian, telaten, dan tak pilih kasih. ”Bapak
telaten dan penuh perhatian pada semua istrinya. Kita ndak
dibeda-bedakan,” kata Hartini. Setiap Jumat sampai Minggu, BK
menyempatkan diri berkunjung ke Bogor, tempat Hartini dan kedua anaknya
tinggal di pavilyun Istana Bogor.
”Ia tahu dan menghormati kewajibannya,”
kata Yurike. Meskipun, hal itu kadang menjengkelkannya. Maklum, BK punya
kebiasaan harus kembali ke Istana Merdeka pagi-pagi sekali, sehabis
menginap di rumahnya, di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur.
Kadang-kadang, BK pergi dengan tergesa dan tak sempat cuci muka. Semua itu dilakukan agar di mata
anak-anaknya, BK tetap menjadi seorang bapak yang penuh perhatian. ”Bung
Karno harus mencium anak-anaknya satu per satu sebelum mereka berangkat
ke sekolah. Mengecek pekerjaan rumah dan memeriksanya dengan teliti,”
tutur Yurike.
Untuk urusan sekolah anak-anak, BK selalu
turun tangan. ”Semua rapor anak-anak, Bapak sendiri yang neken,” kata
Hartini. Bukan itu saja, jika ada pelajaran yang jelek nilainya, BK
turun tangan memberikan penjelasan langsung. Tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat
semua istri dan mantan istri BK menaruh hormat kepada sang suami. Dalam
sejarah hidup BK, ada delapan wanita yang pernah menjadi istrinya.
Ketika masih mahasiswa, BK dijodohkan
dengan Utari, putri pendiri Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto.
Saat itu, BK mondok di rumah Haji Sanusi, yang kebetulan aktivis SI, di
Bandung.
Dalam perjalanannya, hubungan mereka
lebih sebagai kakak beradik. BK justru lebih dekat dengan Inggit
Ganarsih, istri Haji Sanusi. Jalinan hubungan itu makin serius, yang
mendorong mereka berterus terang kepada Haji Sanusi dan Tjokroaminoto.
Utari akhirnya dikembalikan kepada
orangtuanya oleh BK, dalam keadaan masih gadis. Sementara itu, Inggit
yang lebih tua 12 tahun dari BK– dinikahi setelah masa idah cerainya
dari Haji Sanusi selesai, pada 1923.
Biaya studi Kusno –begitu panggilan
Inggit terhadap BK– setelah menikah dengan Inggit, ditanggung Inggit
sampai ia mendapat gelar insinyur pada 1926. Inggit berperan besar dalam
pergerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan BK. Saat BK dipenjarakan di Sukamiskin,
karena kegiatan politik, Inggit setia menemani dan menunggu sampai masa
hukumannya habis. Karena hanya dia yang boleh menjenguk BK di penjara,
otomatis Inggit yang menjadi penghubung antara suaminya dan para pejuang
lain, secara sembunyi-sembunyi.
Untuk menulis pesan BK, Inggit
menggunakan kertas rokok lintingan. Ketika itu, Inggit memang berjualan
rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah hanya dijual
kepada para pejuang, di dalamnya berisi pesan-pesan BK. Hal yang sama juga dilakukan saat BK
diasingkan di Ende, Flores (1934), hingga ia dipindah ke Bengkulu
(1938). Inggit bisa membesarkan hati BK, memberikan dorongan semangat,
membagi suka-duka. Tak mengherankan jika di depan peserta Kongres
Indonesia Raya di Surabaya (1932), Soekarno menjuluki Inggit sebagai
”Srikandi Indonesia”.
Meski pernikahan Inggit dengan BK tidak
diakaruniai anak, mereka memiliki dua anak angkat: Ratna Djuami dan
Kartika. Inggit akhirnya diceraikan BK pada 1942. Alasannya, ia tak mau
dimadu, ketika Soekarno mengajukan permohonan menikah dengan Fatimah
alias Fatmawati. Fatmawati adalah anak tunggal pasangan
Hassan Din dan Siti Khatidjah, yang saat di Bengkulu mondok di rumah BK.
Usianya masih 15 tahun, dan menjadi teman sekolah kedua anak angkat BK
dan Inggit di sekolah Katolik, Rooms-Katholik Vakschool. Alasan ketertarikan BK pada Fatmawati,
salah satunya, adalah ingin mendapatkan keturunan setelah 18 tahun
menikah tidak dikaruniai putra. Fatmawati menyetujuinya asalkan tidak
dimadu. Bahkan, ia akan menerima BK jika sudah menceraikan Inggit secara
baik-baik.
Untuk urusan itu, BK meminta pendapat
dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas
Mansyur. Pada 1943, BK menikah dengan Fatmawati secara wali. Saat itu,
usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Nama Fatmawati adalah
pemberian BK, yang berarti bunga teratai.
Fatmawati banyak menenami BK sejak
menjelang proklamasi kemerdekaan. Ketika BK dan Bung Hatta diculik ke
Rengasdengklok, ia menyertainya bersama Guntur yang masih bayi. Di masa
kemerdekaan, Fatmawati menjadi ibu negara. Setelah pengakuan kedaulatan
RI, keluarga BK tinggal di Jakarta, menempati Istana Merdeka. Dari
pernikahan itu, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati, dan Guruh. Kisah Hartini yang dinikahi BK pada
Januari 1952 agak berbeda dari istri sebelumnya. Ia bersedia dimadu.
Hartini memutuskan menikah dengan BK setelah mendapat restu dari kedua
orangtuanya. ”Kata orangtua saya, dimadu itu abot (berat), biarpun oleh
raja atau presiden,” kata Hartini menirukan nasihat orangtuanya.
Sebelum dinikahi, Hartini mengajukan
syarat agar Ibu Fatmawati tidak diceraikan dan tetap menjadi first lady.
”Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita,” kata
Hartini, yang melahirkan dua anak dari BK: Taufan (almarhum) dan Bayu. Ratna Dewi Soekarno, atau Dewi Soekarno,
61 tahun, dikenalkan pada BK karena adanya latar politik bisnis.
Pertemuan terjadi pada Juni 1959, ketika Bung Karno mengunjungi kelab
malam Copacabana di Tokyo. Dewi, nama aslinya Naoko Nemoto, bekerja
sebagai penyanyi di kelab malam tersebut. Saat itu usianya masih 19
tahun. Ia menyanyikan Bengawan Solo saat menyambut BK.
Dengan dicomblangi Masao Kubo, Direktur
Utama Tonichi Inc, hubungan mereka berlanjut sampai ke pelaminan, 3
Maret 1962. Berkat peran Dewi itulah, Tonichi mendapat banyak proyek
dari Pemerintah RI.
Kehadiran Dewi mampu menyisihkan Sakiko
Kanase, yang lebih dulu diperkenalkan kepada BK oleh perusahaan
Kinoshita. Sakiko, yang sempat masuk Islam dan berganti nama menjadi
Saliku Maisaroh, kecewa dan bunuh diri, tiga minggu setelah Dewi menikah
dengan BK. Dewi yang belakangan pernah menghebohkan
dengan buku Madamme D’Syuga, pada awalnya kurang mendapat simpati di
kalangan putra-putri BK. Guntur, misalnya, memelesetkan nama Dewi
menjadi ”Deweh”. Dan ia menjuluki istri-istri BK, selain Fatmawati,
sebagai ”hinul-hinul markindul”.
Di sisi lain, Dewi sangat berbakat di
bidang politik. Dialah yang merekatkan hubungan BK yang retak dengan
militer pasca-G-30-S/PKI. Dewi berupaya mengakrabkan kembali Soekarno
dengan Jenderal Soeharto, dan Jenderal Nasution. Dengan BK, Dewi
dianugerahi satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno.
Pernikahan BK dengan Haryati tidak banyak
terekspose. Ia tidak begitu menonjol dibandingkan dengan istri-istri BK
lainnya. Pada 1980-an, namanya mencuat saat berperkara soal tanah
hadiah dari BK di Jalan Comal, Surabaya. Atau, saat ia kehilangan
kancing-kancing baju dan sekaligus beberapa baju peninggalan BK. Setelah
bercerai dengan BK, Haryati menikah dengan Sakri. Dari pernikahannya
dengan BK, ia dikaruniai satu putri, Ayu Gembirowati.
Yurike Sanger, atau Yuri, adalah istri
terakhir dan termuda BK. Saat dinikahi, usianya baru sweet seventeen,
dan masih kelas II SMA. Anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu pada
dasarnya seorang yang minder dan pemalu. Ia justru menjadi percaya diri
setelah sering diajak ngobrol oleh BK. ”Hanya orang minder sajalah yang
tidak berani menghadapi, dan melarikan diri dari persoalan yang
menghadangnya,” kata Yurike menirukan pesan BK. ”Kalau saya tidak menerima tawaran Ibu
Lia untuk menjadi Barisan Bhinneka Tunggal Ika, tak mungkin saya bisa
bertemu dan hidup bersama dengan Bung Karno,” tuturnya. Yuri mengaku
cepat dewasa dalam berpikir, karena BK banyak mengajari berbagai hal,
termasuk bagaimana harus menempatkan diri.
Sekarang, genap satu abad lahirnya Bung
Karno. Rangkaian seremoni disiapkan untuk menggelar gawe besar itu.
Hartini, salah satu istri BK yang masih hidup, mengaku terharu mendengar
akan digelarnya acara tersebut. ”Saya merasa terharu, dan senang,” kata
penggemar warna ”hijau botol” itu. ”Saya ingat saat-saat terakhir
Bapak. Dikucilkan. Hanya boleh ketemu sama keluarganya, dan dokter
saja. Di usianya yang 77 tahun, Hartini kini
menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang ringan. ”Kegiatan saya
sehari-hari, ya, ngebon (berkebun), ngaji, baca koran, menata rumah,
arisan, kadang belanja. Itu saja. Nggak neko-neko (aneh-aneh).” Hidupnya
sangat sederhana. Sebagai janda presiden, ia mendapat tunjangan pensiun
dari pemerintah. Jumlahnya? Ia tak mau menyebut angka. ”Ya, kalau
jujur, tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Tapi, saya selalu
berupaya agar bisa membayar rekening listrik, telepon, pembantu….”
Ketika ditanya tentang pengalamannya yang
paling berkesan bersama BK, wanita yang tidak berkebaya sejak BK
meninggal itu menuturkan, ”Selama mendampingi Bapak, seluruh hidup saya
sangat berkesan. Makanya, saya sangat berterima kasih, Allah telah
menunjuk saya mendampingi Bapak sampai akhir hayatnya,” katanya dengan
suara serak dan mata berkaca-kaca.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar