Presiden Soekarno |
Berbanggalah kita sebagai bangsa
Indonesia karena pernah memiliki sosok yang banyak sekali menimbulkan
controversial dalam kehidupannya. Soekarno, sekali lagi Sokarno. Bagai
aliran air di samudera luas cerita tentang Soekarno tak pernah usai.
Berbagai sisi kehidupannya senantiasa menimbulkan tanggapan yang cukup tajam, mulai dari yang berbau mistik sampai seputar hari-hari akhir kekuasaan dan akhir hayatnya, tak bosan ditulis dan dicari orang.
Berbagai sisi kehidupannya senantiasa menimbulkan tanggapan yang cukup tajam, mulai dari yang berbau mistik sampai seputar hari-hari akhir kekuasaan dan akhir hayatnya, tak bosan ditulis dan dicari orang.
Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, dari pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo (berprofesi guru) dan Ida Ayu Nyoman Rai dari Bali. Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah selama 3 tahun rezim Orde Baru (Orba) mengkarantinakannya secara politik.
Sebagai komunikator ulung dan layaknya
seorang guru yang cakap, Soekarno mampu menyampaikan ide-ide/pemikiran
cerdas dengan lancar, penuh imajinasi dan komunikatif. Di tangannya,
topik-topik bahasan yang sebetulnya sukar dan berat, menjadi mudah dan
ringan dicerna untuk dipahami masyarakat awam sekalipun.
Misalnya, saat secara berkala pada tahun
1958-1959 Soekarno memberikan rangkaian ‘kuliah’ guna menjelaskan
kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno
menjelaskan masing-masing satu sila pada tiap kesempatan tatap muka.
Tanggal 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah
tentang pengertian umum Pancasila. Ketika menyampaikan penjelasan
tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanannya terhadap paham
itu, Soekarno menegaskan, Pancasila bukan cuma merupakan pandangan
hidup, tapi juga alat pemersatu bangsa.
Kuliah pembukaan itu disusul
kuliah-kuliah serupa di waktu-waktu berikutnya yang diadakan di Istana
Negara dan disiarkan langsung lewat radio ke seluruh penjuru Indonesia.
Berbeda jauh dengan pidato-pidato Soekarno di depan massa yang biasanya
menggelora dan berapi-api membakar semangat rakyat, rangkaian kuliah
yang diberikannya itu berjalan rileks dan komunikatif.
Dengan serangkaian kuliah itu
kelihatannya Soekarno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan
tempat sangar, sakral, yang hanya boleh dimasuki presiden ataupun para
pejabat penting lain negara; tapi istana tersebut adalah milik rakyat,
tempat segenap masyarakat belajar mengenai berbagai hal termasuk dasar
negara. Soekarno ingin menjadikan Istana Presiden (dan bahkan Indonesia
umumnya) sebagai ‘ruang kuliah’ di mana terselenggara proses
belajar-mengajar antara masyarakat dengan pemimpinnya.
Dari teori-teori filsafat dan politik
serta acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila per sila
Pancasila, terlihat jelas sekali pengetahuan Soekarno sangat luas dan
mendalam. Dalam uraian-uraiannya, sering Bung Karno menyitir
pemikiran-pemikiran filusuf Renan, Confucius, Gandhi, ataupun Marx.
Dengan begitu, Soekarno seolah ingin menunjukkan serta memberi contoh
bahwa tiap warga negara perlu terus-menerus memperluas pengetahuannya.
Kendati Soekarno dididik sebagai seorang teknik, tapi ia amat akrab
dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, politik, sejarah dan agama.
Dalam satu kesempatan dalam rangkaian kuliah itu, Soekarno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan seorang petani miskin bernama Marhaen. Dialog itu sendiri sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelumnya, tapi Soekarno masih mampu mengingat dan menggambarkannya dengan amat jelas, gamblang.
Ini pertanda Soekarno amat menaruh
perhatian pada perjumpaannya dengan Marhaen, wong cilik, rakyat jelata
miskin, serta mau menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama
untuk membebaskan semua rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan,
kemelaratan, ketertinggalan, dan ketidakadilan. Bagi Bung Karno,
retorika memperjuangkan kepentingan rakyat yang tak disertai
perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat merupakan omong kosong,
utopia.
Dengan begitu, sebagai guru bangsa,
Soekarno amat tak suka cuma berkutat di dunia teori, melainkan juga
menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari seluruh lapisan
masyarakatnya. Soekarno selalu berusaha keras mempertemukan ‘buku’
dengan ‘bumi’, menatap teori-teori sosial dengan realita kehidupan
keseharian rakyat Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Soekarno terus-menerus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Agaknya inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin-pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun setelahnya.
Satu hal penting yang tak diragukan dan
perlu diingat – terlepas dari apakah orang setuju ataukah tidak dengan
uraian dan berbagai pemikirannya – bahwa Soekarno bukanlah sosok pejabat
(presiden) yang korup. Memang, bagaimanapun, sebagai seorang manusia,
Soekarno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat
negara misalnya, ia terlihat amat menikmati posisinya, sehingga muncul
kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam
tata masyarakat, bangsa dan negara demokratis.
Sebagai presiden, semestinya Bung Karno
menyadari kedudukannya selaku seseorang yang menjabat sejauh rakyat
memberi mandat kepadanya. Itupun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Tapi rupanya Soekarno tak terlalu menghiraukan hal tersebut. Karena
itu, ketika tahun 1963 ia diangkat sebagai penjabat presiden seumur
hidup, Bung Karno tak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai suatu ‘ruang kuliah raksasa’ dan rekan-rekan
sebangsanya sebagai ‘murid-murid’ yang patuh, timbul kesan bahwa
Soekarno seolah tak memerlukan ‘guru-guru’ yang lain. Ia tak keberatan
akan eksistensi mereka, namun (sadar atau tidak) ‘gaya mengajarnya’
mendorong para tokoh lain yang juga potensial untuk menjadi guru bangsa
terpaksa menyingkir atau tersingkir.
Kita masih ingat, saat tanggal 1 Desember
1956 Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita
juga belum lupa bagaimana orang-orang dekat Soekarno seperti Sjahrir,
Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Mohammad Natsir, dan sebagainya satu per
satu menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an, agaknya
perhatian Soekarno yang demikian besar terhadap posisinya sendiri,
membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin antara Amerika
Serikat (AS) versus Uni Soviet sudah kian jauh merasuki relung-relung
kehidupan masyarakat Indonesia. Kemenangan Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada Pemilihan Umum 1955 serta pemilu daerah tahun 1957 misalnya,
telah mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang
Dingin terhadap bangsa/negara Indonesia.
Di satu sisi, Republik Rakyat Cina (RRC)
bersama Uni Soviet dan Blok Timur-nya menyambut kemenangan PKI itu
dengan amat antusias dan penuh gembira karena menandakan kian meluas dan
menguatnya pengaruh komunisme di Indonesia. Tapi di sisi lain, bagi
Washington bersama sekutu-sekutunya, kemenangan PKI itu kian
meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan benar-benar lepas
dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam kerangka pikiran teori domino,
lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan
negara-negara Barat di segenap kawasan Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan
pun dibangun. Pada tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena
pertarungan berdarah antara anggota, pengikut, dan pendukung PKI dengan
unsur-unsur kekuatan domestik nonkomunis yang di-back up penuh oleh AS
dan kawan-kawan. Lalu, sedikit demi sedikit Soekarno ‘dijepit’ dari
semua sisi oleh pemerintahan Orba, dan akhirnya guru bangsa yang kelewat
besar jasanya bagi Indonesia ini dikarantinakan, disingkirkan dari
panggung kekuasaan.
Indonesia yang dengan segenap cinta dia
tegakkan, ternyata di Indonesia pula dia harus tergilas dan
tersingkirkan. Tapi benarkah demikian ? Biarlah sejarah yang mencatat
dan memberikan jawaban untuk generasi mendatang.
Posted By : Nasionalisme Soekarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar