Rabu, 27 November 2013

Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Soekarno

Bung Karno
17 Agustus 1945 merupakan peristiwa monumental bagi Indonesia karena sejak itu Indonesia resmi memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. Power Indonesia sebagai sebuah negara masih lemah karena belum adanya pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik luar negeri merupakan pondasi dasar yang menentukan sikap Indonesia dalam kancah internasional. Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Untuk mencapai kedaulatan penuh Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain. Indonesia bisa berperan dalam dunia internasional jika keberadaannya telah diakui oleh negara lain. Kemerdekaan yang telah diproklamirkan tidak lantas membuat Belanda melepaskan Indonesia, serangkaian intervensi masih dilakukan Belanda. Stigma bahwa kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Belanda ingin dihapuskan. Oleh karena itu, dukungan dari negara lain sangat diperlukan untuk membantu Indonesia melawan intervensi Belanda.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dari sini tersirat bahwa arah politik luar negeri Indonesia menentang adanya kolonialisme. Di tengah usahanya untuk mendapat pengakuan dari negara lain, Indonesia diterpa dampak Perang Dingin. Pasca Perang Dunia II muncul kekuatan bipolar di dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Masing-masing blok berusaha untuk menggalang dukungan dari negara lain. Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka kemudian dihadapkan pada permasalahan memihak pada pihak mana. Hingga akhirnya pidato Muhammad Hatta pada tanggal 2 September 1948 di depan Komite Nasional Indonesia Pusat menjadi penentu sikap Indonesia. Berikut adalah kutipan dari pernyataan Hatta  “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu merdeka seluruhnya”. Inilah yang kemudian mencetuskan politik bebas aktif. Bebas yang berarti bahwa Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.Dengan demikian Indonesia memilih jalan tengah untuk menyikapi adanya dua blok dalam Perang Dingin.
Di tahun 1960-an, kendali politik luar negeri Indonesia berada di bawah Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno. Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno telah mencapai prestasi yang berarti yakni menyerukan negara- negara di dunia terutama Asia Afrika untuk tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang berseteru pada Perang Dingin saat itu yakni Blok Barat dan Blok Timur serta mendukung adanya kemerdekaan bagi negara-negara di Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok yang diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955. Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan pembentukan aliansi anti kolonialisme serta imperialisme Barat dalam setiap kebijakan luar negeri Indonesia.
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno ini bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell, 1966:37). Dalam masa pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang sangat signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia. Kebijakan Soekarno dalam politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini didasarkan pada dua faktor utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang melihat pada sejarah kontemporer yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama (Barat) dengan negara-negara yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat praktek imperialism dan kolonialisme oleh negara-negara Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya.
Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner. Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan nekolim (Bunnell, 1966:39). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri indonesia yakni condong ke komunis, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar para komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar (Bunnell, 1966:41). Selain itu, tujuan Soekarno dengan kemurahan hatinya terhadap PKI adalah untuk mengurangi kekuatan tentara / TNI yang dianggapnya menjadi batu sandungan terhadap implementasi nasakom.  
Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat.
Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah merdeka dari penjajahan Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh Belanda yang masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah Irian Barat sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai kebijakan demi lepasnya Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut, dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar tersebut diadakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar hasil Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan Irian Barat pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil perundingan tersebut. Sedangkan dalam perundingan tersebut dituliskan bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada Indonesia setahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno menempuh jalan keras. Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora tersebut berisi :
  1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa 
Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah :
  1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
  2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
  3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.
  4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.
  5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 
Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA yang diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat kedua belah pihak baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati hasil PEPERA tersebut. kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York melalui utusan Sekjen PBB Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke 24 pada November 1969.
Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia. Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu 
Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri luar negeri Indonesia – Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan ketegangan antara ketiga tersebut sehingga tercapai kesepakatan bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia) di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963 Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat Kalimantan Utara mendukungnya. Sehingga  PBB membentuk suatu tim penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi :
  1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
  2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia 
Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia mundur dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada blok barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasidi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-negara sosialis dan komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik
Politik luar negeri pasa era Orde Lama juga ditandai dengan usaha keras Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia (Bunnell, 1966:42). Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik (Bunnell, 1966:43). Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis Indonesia pada masa Orde Lama.
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa pergerakan politik luar negeri Indonesia senantiasa berubah dalam implementasinya. Pada masa awal kemerdekaan politik luar negeri Indonesia adalah bagaimana mencari dukungan sebanyak-banyaknya untuk mendapat pengakuan internasional. Kemudian lahirlah politik bebas aktif untuk menyikapi dualisame kekuatan dunia saat itu antara Amerika Serkat dan Uni Soviet. Selanjutnya di bawah komando Soekarno arah politik luar negeri Indonesia mengalami pergeseran dari semula yang tidak dipengaruhi oleh blok manapun menjadi lebih condong ke arah sosialis-komunis. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi terbatas pada seputar negara-negara komunis semata. Dari sisi eksternal muncul konflik dengan Malaysia hingga Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB. Dari sisi internal Soekarno tidak memperhatikan perkembangan sektor domestik karena menurut Soekarno pergerakan Indonesia dalam lingkup internasional lebih penting. Meskipun begitu, masa pemerintahan Soekarno memberikan sumbangsih berarti bagi Indonesia, contohnya keberhasilan merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan keaktidan Indonesia dalam kancah internasional melaui KAA, KTT Non Blok dan keikutsertaan Indonesia dalam PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar