Selasa, 03 Desember 2013

Kisah Cinta Soekarno & Hartini

Hartini Soekarno
Kurang lengkap rasanya bila membahas Bung Karno tanpa melibatkan seorang wanita bernama Hartini. Wanita inilah yang dengan setia mendampingi Bung Karno menuju saat senja kekuasaannya. Ada bebera nama wanita yang sempat menghiasi perjalanan hidup Bung Karno, tapi semua tidak bertahan lama.

Hartini, adalah seorang janda beranak lima, ketika “ditemukan” Bung Karno di Salatiga, tahun 1952. Kisah asmara Bung Karno dan Hartini, patut diangkat, demi memperingati hari pernikahan mereka 55 tahun yang lalu, tepatnya 7 Juli 1954 di Bogor.

Sungguh kisah yang unik dan dramatik. Hari itu, Bung Karno dijadwalkan melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kunjungan tersebut, rombongan Presiden dijadwalkan singgah di Salatiga. Demi mendengar Bung Karno akan singgah, sejak pagi rakyat kota Salatiga dan sekitarnya berbondong-bondong menjejali Lapangan Tamansari. Di lapangan itulah Bung Karno akan menyapa rakyat Salatiga dalam pidato yang selalu ditunggu-tunggu rakyat dengan antusias.

Ibarat cerita layar perak, setting berganti ke suasana kesibukan luar biasa di kediaman Walikota Salatiga. Ya, karena di kediaman Walikota itulah Bung Karno akan rehat sejenak sekaligus makan siang. Sepasukan ibu-ibu sibuk menyiapkan ini dan itu, mulai dari menyiapkan meja jamuan makan sampai ke urusan masak-memasak di dapur. Di antara kaum perempuan yang sedang sibuk di dapur, tampak sosok perempuan berwajah lembut, berkulit bersih kuning langsat, perawakan semampai, rambut hitam sepinggang, dan… senyum manis tersungging di bibir yang merekah indah. Dialah Siti Suhartini, yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah Walikota Salatiga, dan kebetulan pula, pagi tadi ia “dijawil” Walikota untuk ikut membantu di dapur, menyambut kedatangan Presiden Sukarno. Wanita yang di kemudian hari dikenal sebagai Hartini itu, memasak sayur lodeh untuk melengkapi masakan-masakan yang lain. Ia sendiri merasa “pe-de” dengan masakah sayur lodehnya. 

Sejenak, kita pindah setting ke Lapangan Tamansari. Bung Karno sudah tiba, dan rakyat mengelu-elukan dengan semarak. Sejurus kemudian, lautan manusia diam seketika diam, suasana hening, tersirep oleh suasana magis, menanti Bung Karno mengucap kata. Rakyat siap memekik “Merdeka!!!” sekuat-kuatnya jika nanti Bung Karno menguluk salam. Ternyata, Bung Karno membuka pidato dengan lantunan tembang “Suwe Ora Jamu”….

Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo…
Soekarno & Hartini
Kontan saja, rakyat bergemuruh, ada yang bertepuk tangan, ada yang ikut menyanyi, ada yang memekik Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!! Jelaslah… hati rakyat benar-benar terjerat oleh daya pikat Bung Karno. Begitu yang tampak pada suasana selanjutnya, ketika Bung Karno berpidato dengan berapi-api, dan rakyat khidmat menyimak kata demi kata, menikmat alunan tinggi dan rendah suara Singa Podium.

Singkat kalimat, usai berpidato Bung Karno diiringkan pejabat daerah, ajudan dan pengawal, menuju kediaman Walikota Salatiga. Sesampai di sana, hidangan telah lengkap tersaji. Aroma masakan olahan dapur dari para juru masak pilihan, menyambar-nyambar hidung siapa saja di dekatnya. Sang perut pun mengirim sinyal “lapar” kepada tuannya. Jadilah Bung Karno dan yang lain, segera menikmati hidangan makan siang.

Bung Karno? Dia langsung menyambar sayur lodeh di depannya. Ya… sayur lodeh masakan Hartini di dapur tadi. Lahap. Lahap sekali, karena sayur lodeh memang merupakan menu kesukaan Bung Karno. Begitu enaknya sayur lodeh di rumah Walikota Salatiga, sampai-sampai seusai jamuan, Bung Karno menyempatkan diri bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”
Anda bayangkan sendirilah suasana ketika itu. Di mana ada Bung Karno, di situ ada antusiasme siapa pun untuk mendekat, melihat, bahkan kalau boleh mendekap, bahkan mencium kakinya jika diizinkan. Artinya, ketika Bung Karno menanyakan si pemasak lodeh, para perempuan yang bertugas di dapur menjadi gaduh. Maka, Sri Hartini pun didorong-dorong oleh teman-temannya untuk maju… maju… menunjukkan diri, menemui Presiden, dan menerima ucapan terima kasihnya.

Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan… lama! Bung Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”

Soekarno & Hartini
Demi waktu, hari itu Sukarno jatuh cinta kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Sukarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini.
Pasca pertemuan pandang yang pertama antara Presiden Sukarno dan Hartini di rumah Walikota Salatiga. Perjalanan dinas selanjutnya, menyisakan satu ruang yang hampa di ruang hatinya. Acara-acara kepresidenan selanjutnya, menyisakan satu ruang kosong di ruang pikirnya. Benar, sebongkah rasa, sebutir pikir, telah tertinggal di Salatiga, bersama kenangan mendebarkan saat jumpa Hartini, jagoan pemasak sayur lodeh.
Bahkan, sesampai di Jakarta, bayang-bayang wajah ayu Hartini tetap meliuk-liuk indah menemani tatapan-tatapan kosong Sukarno. Senyum manis dari bibir yang indah, serta sorot mata lembut tapi menusuk, menjadi santapan lamunan Sukarno.

Bangkit dari himpitan cinta, bangkit dari lamunan, Sukarno langsung mengambil secarik kertas, memungut sebuah pena, dan menulis sebaris kata. Untaian kata-kata cinta tadi, tercatat dalam sejarah cinta Sukarno – Hartini, sebagai surat cinta pertama.

“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Itulah goresan kata, yang kemudian dititipkan pada seseorang untuk segera disampaikan kepada Hartini nun di Salatiga sana. Si penerima surat yang dipanggil dengan panggilan kesayangan “Tien”, kaget bukan kepalang. Belum selesai hatinya galau demi menerima surat cinta dari Presiden Republik Indonesia, sudah datang lagi telegram-telegram, dan surat-surat bernada cinta selanjutnya.

“Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd: …. SRIHANA. Begitu salah satu surat cinta yang datang kemudian. Ihwal nama SRIHANA? Itu adalah nama samaran Bung Karno. Adalah Bung Karno yang juga memberikan nama SRIHANI kepada Hartini, sebagai nama samaran pula. Alhasil, surat-menyurat Bung Karno – Hartini selanjutnya terus mengalir menggunakan nama samaran SRIHANA – SRIHANI.

Tahun 1953, tercatat sebagai pertemuan kedua antara Bung Karno dan Hartini. Lokasinya? Di Candi Prambanan. Selama itu pula, Bung Karno terus menebar jala cinta, melalui ungkapan kata-kata puitis dalam surat-suratnya. Hartini? Ia makin gundah… makin gulana….

Bahkan, ketika Bung Karno melamarnya untuk bersedia dijadikan istri kedua, Hartini tidak serta merta memberi jawab. Bung Karno mengulang lamarannya, Hartini masih tetap belum bersedia. Lagi, Bung Karno melamar lagi, Hartini belum juga memutus kata.

Janda dalam usia 28 tahun, dengan paras yang begitu ayu mempesona, sangat mungkin masih mendamba kehadiran seorang pria. Akan tetapi, Hartini tidak pernah menduga, jika pria yang dimaksud adalah seorang Presiden. Hartini tidak pernah menyangka bahwa pria yang dimaksud telah memiliki first lady, Fatmawati.
Dalam kecamuk pikir dan gemuruh hati, Hartini hanya bisa berpaling kepada kedua orangtuanya, Pak Osan Murawi dan Mbok Mairah. Orangtua Hartini menjawab pertimbangan putrinya dengan mengatakan, “Dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden. Opo kowe kuat? Tanyakan hatimu. Apa pun keputusanmu kami memberi restu.”

Satu tahun berhubungan cinta melalui surat dan sedikit pertemuan, akhirnya Hartini tak kuasa menolak pinangan  Bung Karno, dengan segala konsekuensi yang telah dipikirkannya. Apalagi, benih-benih cinta yang disemai Bung Karno, memang telah tumbuh subuh di hati Hartini. Hartini begitu mengagumi Bung Karno, terlebih setelah bertubi-tubi menerima kiriman surat cinta, dalam bahasa yang begitu indah, serta diselang-seling sisipan mutiara kata dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Jawaban Hartini, “Ya… dalem bersedia menjadi istri Nandalem” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”

Suatu pribadi yang sangat luhur, dibalik cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno namun naluri sebagai sesama wanita masih begitu lekat dalam hatinya.

Kisah Cinta Soekarno & Dewi

Soekarno & Dewi
Ada beberapa kalimat yang pernah terucap dari bibir Bung Karno sebagai ungkapan cinta yang puitis terhadap Hartini dan Ratna Sari Dewi.


“Tiada pernah aku melihat pengabdian seorang istri yang lebih besar dari apa yang telah Hartini berikan kepadaku. Karenanya bila aku mati, aku ingin di makamkan berdampingan dengan Hartini.”

“Tiada pernah aku merasakan cinta yang begitu besar kecuali terhadap Dewi, karenanya bila aku mati maka kuburlah kami dalam satu lubang yang sama”

Dan apa ini sebuah takdir, karena pada kenyataannya dua wanita inilah yang begitu dengan dengan Bung Karno dimasa senja kekuasaannya.
Bung Karno pernah ditulis wartawan suratkabar Amerika, sebagai pria yang gemar melirikkan mata kepada wanita-wanita cantik. Atas tulisan tersebut, Bung Karno menyangkal keras. “Yang benar adalah, Bung Karno menatap setiap perempuan cantik dengan kedua bulatan matanya….” Ia mengagumi setiap bentuk keindahan. Ia menarik nafas dalam-dalam setiap menatap hamparan pemandangan negerinya yang molek. Ia mengagungkan asma Allah setiap melihat wanita cantik ciptaanNya.
Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang begitu mulia di hati Sukarno. Inggit Garnasih sebagai perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga menjelang Indonesia merdeka. Fatmawati? Ia gadis 19 tahun yang ceria, saat dinikahi. Fatma pun ditaburi cinta Sukarno, karena dia adalah penopang semangat Sukarno di awal-awal republik berdiri.
ラトナサリデヴィスカル
Ratna Saridewi Soekarno
Hartini? Ah… dialah pembuat sayur lodeh paling enak di lidah Bung Karno. Kesadarannya sebagai “madu”, memposisikan Hartini menjadi seorang istri yang begitu berbakti. Karenanya, Bung Karno membalasnya dengan luapan asmara tiada tara. Tak heran jika dalam wasiatnya, Bung Karno ingin dimakamkan berdampingan dengan Hartini.
Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah Geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.
Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesi Geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap, Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.

Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko. Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno. 

Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar, Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang. 
ラトナサリデヴィスカル
Dewi Soekarno

Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati, Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya. 

Buah asmara Bung Karno & Dewi adalah seorang gadis cantik yang diberinya nama Kartika Saridewi Soekarno atau yang lebih akrab disapa Karina. Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial yang begitu tinggi.

Bung Karno,, President, Seniman & Arsitek kebanggaan Bangsa Indonesia

Monumen Nasional
Pendidikan kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia. Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia)

Patung Selamat Datang
Sampai saat ini, Monas dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat sebagai kawasan yang amat bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan Merdekanya yang luas dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin malah surganya kota, mengacu pada pendapat seorang pakar bahwa park is urban paradise.

Sepanjang pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia arsitektur. Boleh saja George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern.

Namun, ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-gedung atau monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan perhatiannya. Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai skala kota pun digagas dan direalisasikan.

Patung Pembebasan Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan, kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah.

Taman Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang terbuka yang begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang presiden yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan kemungkinan memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus dibangun. Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya ternyata berkembang dengan baik sampai sekarang

Patung Pancoran
Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan yang dihasilkan melalui sayembara.

Monas yang terbangun sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut tokoh arsitek senior Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan pemenang ketiga adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan sehingga terbangun seperti yang tampak sekarang ini.

Prinsip bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan yang termasuk kategori junk architecture atau arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.

Begitu pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo.

Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari.

Istiqlal Mosque
Mengenai perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud nyata. Manakala Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali bukanlah berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang Kristen, terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan berita yang mestinya mengejutkan?
Gedung Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di Menteng juga bukan karya seorang pribumi melainkan karya pematung mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di mancanegara.

Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi bahwa bangunan dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai (berjalan dan berlari dari bukit Safa ke Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas saran Bung Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya setiap tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.

Dalam suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver pertarungan kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan seperti Bung Karno. Pemimpin negara yang tidak hanya tinggi kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan seniman yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa


Bung Karno Tentang Pancasila

President Soekarno 1965
Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hidau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekedar konstateren, menetapkan dengan kata-kata satu keadaan.
Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan dihadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan  mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini: aku bukan pencipta dari berlian-berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau”. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekedar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila  itu; tidak merasa menciptakan Pancasila itu”.


Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.
Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besar-besar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berfikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agamanya.
Bangsa jang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu Negara jang kuat. Maksud kita yang pertama sedjak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu Negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografie, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.

Pada saat kita menghadap kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian, kita menghadapi soal bagaimana Negara hendak datang ini, kita letakan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, difikir-fikirkan soal ini dengan cara jang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali saya formuleeren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekedar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan ini? Saya sebagai orang yang pecaya kepada Allah SWT berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Alah SWT pula”.

Hanya " PANCASILA ", Satu-Satunya Dasar NKRI

President Soekarno
Pada tanggal 1 Juni 1945, beberapa sebelum kita mengadakan proklamasi Agustus 45, aku telah berkata bahwa PANCASILA inilah satu-satunya dasar bagi kita. Baik sebagai bangsa, maupun sebagai Negara, untuk menyadikan bangsa yang kuat utuh, untuk menjadi Negara yang kuat.

Saudara-saudara, aku mengucapkan suka-syukur kepada Tuhan yang selalu aku tidak lupa saudara-saudara, syukur alhamdulillah kepada tuhan ini mengucapkan suka-syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan sebagaimana yang aku, aku terima dan rasakan, telah memberi ilham kepadaku untuk mengusulkan kepada bangsa Indonesia dasar PANCASILA ini. Tidakkah saudara-saudara masih ingat kepada pidato saya, baik di Senayan itu, di situ, maupun di Istana Negara, bahwa pada malam akan terjadinya sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Yang harus merencanakan dasar Negara, yang akan terjadi, yaitu pada tanggal 31 Mei malam 1 Juni malam itu, karena keesokan harinya tanggal 1 Juni aku diharuskan berpidato dihadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengusulkan dasar Negara, bahwa pada malam itu aku telah keluar dari rumahku di Pegangsaan Timur, pergi keluar menengadah mukaku ke langit. Melihat kepada bintang di langit yang beribu-ribu dan berjuta-juta. Dan bahwa pada waktu itu memohon, menangis kepada Allah SWT, ya Allah, ya Robi, berilah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan aku usulkan daripada Negara kita yang akan datang. Dan bahwa sesudah itu aku tidur, dan bahwa pada esok harinya aku mempunyai keyakinan, bahwa dasar yang harus aku usulkan ialah Pancasila.

Ingatlah saudara-saudara, akan uraian itu dariku kepada khalajak ramai? Oleh karena itu bagiku, ku, ku, ku. Pancasila ini adalah semacam satu ilham daripada Allah SWT kepadaku.

Dan memang malamnja, tadinja aku mohon kepada Allah supaja diberi petunjuk, aku kemudian tidur dan bangun, aku mempunjai kejakinan akan benarnja, tepatnja PANCASILA ini.

Dan aku tidak lupa saudara-saudara, bukan saja, sampai aku masuk lobang kubur, moga-moga di akhirat aku tetap bisa mengucapkan syukur, ya Allah, ya Robi, aku berterima kasih kepadaMu, bahwa engkaulah yang memberi ilham kepadaku akan PANCASILA.

Sekarang ini saudara-saudara, ada orang jang berkata, Bung Karno sekedar hanja penggali Pancasila: Bung karno sekedar hanya perumus PANCASILA

Lho, memang, memang saudara-saudara, aku berterima kasih syukur kehadirat Allah SWT, bahwa aku dijadikan oleh Tuhan perumus PANCASILA dijadikan oleh Tuhan penggali daripada 5 mutiara jang terbenam di dalam buminja rakjat Indonesia ini, jaitu lima mutiara PANCASILA. Bahwa Tuhan memberikan padaku itu saja saudara-saudara, penggali, perumus ataupun apa saja namanya, Masya Allah, Allahhu Akbar, aku mengucapkan suka-syukur kepada-Nya, sampai nanti di muka Allah SWT sendiri.

Indonesian Flag
Dan kalau ada orang berkata, Hei... Bung Karno kau cuma sekedar penggali, sekedar perumus PANCASILA aku berkata memang, ya saya perumus PANCASILA, aku penggali PANCASILA. Dan aku telah bersyukur, bersyukur aku dijadikan oleh Tuhan perumus daripada PANCASILA, penggali daripada PANCASILA ini.



Inilah Ide Awal Bung Karno Tentang Pembangunan Gelanggang Olahraga Bung Karno

Gelora Bung Karno
Stadion Gelora Bung Karno adalah salah satu stadion terbesar milik Indonesia yang berada di Jakarta. Mindtalkers tahu nggak, asal muasal Presiden Soekarno membuat stadion GBK di Jakarta? Ide awalnya pun muncul saat beliau sedang berada di Moskow.

Saat itu, Bung Karno terpikat dengan kemegahan bangunan stadion pusat di Lenin, Moskow. Ia pun memberikan tantangan pada seluruh arsitek di Uni Soviet untuk merancang sebuah stadion olahraga yang bisa melindungi semua penontonnya dari hujan dan juga panas matahari.

Gelora Bung Karno
Under Construction
Hampir semua arsitek tersebut mengatakan jika tantangan Bung Karno sangatlah tak lazim dan sulit. Menurut para arsitek tersebut, lazimnya stadion hanya bisa dirancang dengan atap sebagian saja. Namun, Bung Karno tetap optimis menjalankan keinginannya itu.

Bung Karno pun membuat model temu gelang di stadion yang akan dibuatnya di Jakarta tersebut. Temu gelang ini adalah sebuah atap yang menyambung secara melingkar mengikuti lintasan olahraga guys! Desain atap seperti inilah yang kemudian digunakannya saat membangun Gelora Bung Karno, di Senayan, Jakarta.

Meski begitu untuk mewujudkan setiap ide dan karya arsitekturnya, Bung Karno selalu dibantu oleh arsitek Istana, Raden Mas Soedarsono, F. Silaban dan Insinyur Soetami. Wah, ternyata Bung Karno juga Presiden yang memiliki ide cemerlang di jamannya.

Senin, 02 Desember 2013

Soekarno Dimata Dunia

Siapa yang kenal dengan pahlawan kita sekaligus presiden pertama yang menjadi presiden di indonesia ini sudah terkenal sampai ke luar negeri sampai sampai pemimpin amerika dahulu pun sampai hormat ke soekarno. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 juni 1901.


President Soekarno

Suatu hal yang lumrah apabila kita melihat seseorang berkorban demi apa yang dicintainya, demikian juga Bung Karno. Demi Indonesia Bung Karno mengabaikan penyakit yang menggerogoti dirinya. Bung Karno selalu tampil prima dihadapan publik, walau pada hakekatnya dia dalam keadaan lemah. Hal tersebut dilakukan demi menjaga rasa percaya diri seluruh rakyat Indonesia.
 

Berulang-kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin para di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana aku bisa tenang kalau setiap lima menit menerima kabar buruk?”
 
 

Berteriak adalah “hobi” Sukarno. Ia berteriak untuk memberi semangat rakyatnya. Ia berteriak juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika konteksnya adalah membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah seorang orator ulung. Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya, jika ia berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini. 

“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.
 
“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka bernama Malaysia.



Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.
 
 
Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet. 
 

Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan. 
Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.
 
 

Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya. 
 

Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.” 
 

Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.” 
 

Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore. 
Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
 

Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.:
 
Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB.
 
Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam.Hebatnya Presiden Ir. Soekarno Dimata Dunia
 
 

  • Gambar Perangko Negara Philipines : 

  
 

  • Di Negara Adidaya:

http://lh3.ggpht.com/IFEP66Fq4mZUeVzfzns06vpSKUaiTGNzY2ng1WV7tCkS6JlxVCXZ-Bj2z60YyDWdsF37VJmXI7-YzrS0gmTwfT5n2Q 
Presiden Soekarno baru tiba di bandara Washington DC, AS, pada siang hari. Didampingi oleh wakil presiden AS, Richard Nixon, Bung Karno disambut penuh oleh pasukan AS dengan 21 kali tembakan kehormatan. Bung Karno tiba di Washington dalam rangka kunjungan selama 18 hari di AS atas undangan Presiden AS, David Dwight Eisenhower (Foto: 16 Mei 1956). 


  • Bersama Pemimpin Jepang  


Presiden Soekarno menjadi tamu kehormatan Kaisar Jepang, Hirohito, dan pangeran Akihito. Bung Karno dijamu makan siang di istana kekaisaran Jepang di Tokyo (Foto: 3 Pebruari 1958).



  • Menjadi cover majalah TIMES tahun 1946 

http://lh6.ggpht.com/H4XKGib-k6BKCrw7FnF2bLxq4DHfsqCYELhhWZ3ZO3Wh2OnjivKdGZH8CCqLXMvUTfPhJswdJuc7A1m5UjM_UDn0rg
  
  • Go International


Presiden Sukarno berdiri berdampingan dengan 4 pemimpin negara Non Blok setelah mereka selesai mengadakan pertemuan. Dari kiri kekanan : Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Kwame Nkrumah (Presiden Ghana), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Bung Karno, dan Tito (Presiden Yugoslavia). Kelima pemimpin negara non blok ini mengadakan pertemuan yang menghasilkan seruan kepada Presiden AS, Eisenhower (Presiden AS) dan Perdana Menteri “Uni Soviet”/Rusia, Nikita Khruschev, agar mereka melakukan perundingan diplomasi kembali
 (Foto: 29 September 1960).
Presiden Soekarno bersama Perdana Menteri Perancis, Pompidou (Foto: 1965).
Presiden Soekarno sedang bercakap-cakap dengan Presiden Kuba, Osvaldo Dorticos Torrado (kiri), dan Perdana Menteri Kuba, Fidel Castro (kanan) di Havana, Kuba (Foto: 9 Mei 1960). 
Presiden Soekarno tiba di bandara Karachi, Pakistan. Didampingi oleh Presiden Pakistan, Iskander Ali Mirza, Bung Karno tampak sedang memberi hormat, diapit oleh bendera Indonesia dan bendera Pakistan
(Foto: 25 Januari 1958).



Soekarno  mewakili kebangkitan AFRO ASIA dan dunia sebeleh timur beliau berhadapan dengan imperialis barat berjaya menggeledek menggelorakan semangat rakyatnya sehingga mencetuskan kebangkitan dunia baru untuk rakyat terjajah mereka berani berkorban nyawa demi kemerdekaan daripada belenggu penjajahan!

“Soekarno adalah contoh pemimpin dunia ketiga yang memukau perhatian rakyat, beliau penuh karisma di kalangan dunia ke 3. Kewibawaanya apabila berjaya menganjurkan persidangan bandung pada tahun 1955. Persidangan yang membentuk order baru dunia di kalangan negara-negara bekas tanah jajahan barat. Beliau mengenyangkan rakyatnya dengan ucapan-ucapan muluk tanpa ada agenda ekonomi yang konkrit”

*Richard Nixon*

6 Sahabat Baik Presiden Soekarno


Mantan Presiden Soekarno ketika menjabat sebagai presiden Indonesia dikenal suka bersahabat dengan beberapa kepala negara di dunia, Soekarno melakukan pendekatan pendekatan dengan negara negara lainya untuk mewujudkan cita citanya agar Indonesia bisa setara dengan negara negaara besar di dunia lainya, bahkan salah satu sahabat presiden Soekarno adalah mantan presiden Amerika Serikat yakni John F Kennedy.

Berikut Ini adalah kisah persahabatan mereka :


1. Pandit Jawaharlal Nehru
Soekarno & PJ. Nehru

Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru adalah salah satu orang yang paling berjasa di awal kemerdekaan Indonesia. Saat Belanda memblokade wilayah Indonesia dari luar, India membantu mengirimkan obat-obatan dan berbagai bantuan lain untuk perjuangan Indonesia. Soekarno dan Nehru berteman baik. Keduanya sama-sama founding father atau bapak bangsa bagi negaranya masing-masing. Nehru dan Soekarno sama-sama ingin menciptakan Asia yang bebas dari kolonialisme. Saat perayaan kemerdekaan India yang pertama, tanggal 26 Januari 1950, Soekarno hadir sebagai tamu kehormatan. Pada Nehru dan rakyat India, Soekarno mengucapkan terimakasih dan salam persaudaraan dari seluruh rakyat Indonesia. Tahun 1955 saat konferensi Asia Afrika, keduanya berdiri dalam satu mobil yang sama dan melambai pada rakyat Indonesia. Soekarno pernah menulis surat pada Nehru yang sangat isinya mengharukan. “India dan rakyatnya terikat erat pada kami dengan darah dan kebudayaan. Hubungan ini telah terjalin dari awal tercatatnya sejarah. Kata India juga akan selalu ada dalam hidup kami. Sebagian kata itu merupakan rangkaian huruf pertama yang kami pilih untuk menamai bangsa dan negara ini,” kata Soekarno.



Gamal Abdul Naseer & Soekarno
2. Gamal Abdul Nasser

Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan Soekarno pun berteman akrab. Keduanya adalah tokoh gerakan Nonblok yang sama-sama punya mimpi mewujudkan negara-negara Asia dan Afrika agar tidak terus dijajah bangsa Eropa dan Amerika. Soekarno berkali-kali mengunjungi Mesir. Karena Nasser pula masyarakat Mesir sangat menghormati Soekarno. Karena itu ada kebun mangga Soekarno di Ismailia. Bibit mangga itu konon merupakan hadiah Soekarno untuk rakyat Mesir. Ada pula istilah kopiah Soekarno untuk menyebut peci hitam yang mirip dengan kopiah Soekarno. Bahkan ada jalan Ahmed Soekarno di Kairo. Soekarno dan Nasser pernah sama-sama khusyuk berdoa di Masjid Al Azhar, Kairo. Hingga kini, ribuan mahasiswa Indonesia mendapat beasiswa di universitas Islam tertua itu.


 3. John Fitzgerald Kennedy 
JFK & Soekarno

Hanya satu Presiden Amerika Serikat (AS) yang berteman dengan Soekarno. Dialah Presiden John Fitzgerald Kennedy. Sebelumnya Soekarno sempat dongkol pada Presiden terdahulu AS Eisenhower karena membantu pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Soekarno mengunjungi Kennedy bulan April tahun 1961. Keduanya langsung cocok. Secara pribadi Kennedy memberikan sebuah helikopter kepresidenan untuk Soekarno. Lewat lobi itu, AS pun setuju menjual pesawat angkut C-130 Hercules untuk merebut Irian Barat dari Belanda. John F Kennedy kemudian mengutus adiknya, Jaksa Agung AS Bob Kennedy ke Indonesia dan Belanda. Bob banyak menekan Belanda untuk mau duduk di meja perundingan menyelesaikan sengketa Irian Barat. John Kennedy sudah berjani akan mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia. Soekarno pun membangun sebuah paviliun istimewa di istana negara untuk sahabatnya itu. Sayangnya John F Kennedy keburu tewas ditembak sebelum sempat mencoba paviliun istimewa itu.


Che Guevara & Soekarno
4. Che Guevara 

Fidel Castro dan Che Guevara baru memenangkan revolusi di Kuba. Pada Bulan Juni 1959, Castro mengutus Che melawat ke negara-negara Asia. Ada 14 negara yang dikunjungi Che, sebagian besar negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Tentu Indonesia sebagai tuan rumah konferensi Asia Afrika, mendapat lawatan khusus Che. Dia menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Keduanya berdiskusi panjang lebar soal revolusi di masing-masing negara. Keduanya cocok karena sama-sama anti imperialis. Selain berdiskusi, Che juga menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara Indonesia dan Kuba. Che juga sempat berwisata ke Candi Borobudur. Che yang terkesan dengan Soekarno kemudian mengundang Soekarno untuk ganti berkunjung ke Kuba. Di sana Soekarno bertemu Fidel Castro. Fidel dan Soekarno langsung cocok dan menjadi sahabat. Apalagi saat itu Indonesia dan Kuba sama-sama kesal dengan Amerika Serikat (AS) yang mau ikut campur urusan dalam negeri kedua negara.


5. Nikita Kruschev 

Soekarno & Nikita Kruschev
Persahabatan Presiden Soekarno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev mungkin lebih didasari latar belakang politik. Periode 1960an, Soekarno memaki-maki Amerika Serikat yang dianggap mendikte Indonesia. Bantuan dari AS dinilai tidak tulus karena AS banyak maunya. Maka saat Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur menawarkan bantuan, Soekarno langsung menyambutnya. Walau berlatar belakang politik, hubungan keduanya cukup akrab. Soekarno menggambarkan saat itu Kruschev begitu menghargainya. Di suatu hari yang sangat dingin di Rusia, Kruschev menjemput Soekarno. Tanpa banyak bicara dia mengajak Soekarno dan memberikan pinjaman tanpa bunga untuk Indonesia. Dari Soviet pula Indonesia mendapat aneka persenjataan canggih untuk operasi militer merebut Irian Barat. Mulai dari pesawat tempur, pesawat pembom, kapal selam, kapal patroli hingga rudal anti serangan udara. Indonesia sempat menjadi negara paling kuat di Asia tahun 1960.


6. Joseph Broz Tito


Soekarno & Joseph Broz Tito
Mantan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito tak bisa dipisahkan dari deretan sahabat kental Soekarno. Pada tahun 1950an, mereka dikenal sebagai Kelompok Lima Netral. Kelompok lima ini beranggotakan Presiden RI Soekarno, Perdana Menteri India Nehru, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito.Bayangkan pada usia belia dulu, Indonesia bisa ikut menentukan langkah politik dunia yang terbagi atas Blok Barat dan Blok Timur. Kelompok Lima Netral ini tak mau memilih salah satu blok. Mereka memilih menggalang kekuatan di kalangan negara-negara dunia ketiga.Karena keperluan Nonblok itu pula Soekarno sering menemui Josep Broz. Jika Soekarno datang, Josep Broz akan mengajak Soekarno ke night club paling mewah di Beogard. Mereka akan berdiskusi santai soal peta geopolitik dunia sampai pagi.Hebatnya, walau di night club, Soekarno tak mau menenggak alkohol setetes pun. Dia selalu minta air jeruk saat mau toast. Broz Tito pun tahu kebiasaan sahabatnya itu.