Bung Karno |
Istilah menggemboskan atau mengempiskan
bila diucapkan oleh Ibu Megawati maka yang terbayang di benak kita
adalah sebuah upaya mengurangi perolehan suara untuk PDI-P yang
dilakukan oleh Partai pesaing lainnya. Apakah anda setuju dengan
pendapat ini ? Terserah anda setuju atau tidak. Tapi yang jelas anda
akan menemukan proses menggemboskan atau mengempiskan dari sisi yang
berbeda apa bila proses penggembosan atau pengempisan dilakukan oleh
Bung Karno.
Megawati mengiringi langkah bapaknya yang
seperti biasa, berjalan gagah mendatangi barisan para tetamu dan
menyalaminya satu per satu dengan sangat ramah. Pada saat itulah,
Megawati melihat raut wajah bapaknya memerah seperti menahan marah. Mega
yang biasa dipanggil “Gadis” oleh bapaknya, tahu betul bahwa ada
sesuatu yang tidak berkenan di benak bapaknya. Apakah sesuatu itu? Mega
tidak tahu. Barulah ketika Bung Karno sampai di depan
seorang ibu, berdandan dengan sangat cantik, berkain-kebaya dengan
anggun… tapi… ya, tetapi satu hal yang membuat Bung Karno tidak
berkenan, yaitu pada tatanan rambutnya yang kelewat menjulang tinggi
karena disasak. Spontan usai menyalami ibu-ibu itu, Bung Karno
mengangkat tangan kanannya persis ke arah atas kepala ibu itu, dan
kemudian menekannya ke bawah. Ya, mengempiskan sasakan rambut ibu itu.
Usai menekan sasak ibu itu, tanpa
berkomentar apa pun, Bung Karno langsung bergeser ke ibu-ibu di
sebelahnya, dan kembali melanjutkan ritual menyalami sisa barisan yang
ada. Megawati menyaksikan itu semua. Dan dia sangat penasaran, sehingga
ketika sampai di rumah, ekspresi ketidaktahuan tentang sikap bapaknya
tadi, masih membekas. Bung Karno, tak lama kemudian, memanggil
Megawati dan langsung mengemukakan hal yang benar-benar menggantung di
saraf gelisah Megawati. “Gadis…,” Bung Karno membuka kata, “Tahu mengapa
Bapak marah sama ibu tadi?” Antara tahu dan tidak, Mega menganggukkan
kepala. Bung Karno seolah menganggap Mega tidak tahu, sehingga ia pun
melanjutkan kalimatnya, “Ibu itu tidak menunjukkan keprbadian Nasional!”
Mega uluk tanya, “Lalu, bagaimana
berkepribadian Nasional itu, Pak? Seorang wanita Indonesia, jawab Bung
Karno, adalah wanita yang berpakian kain kebaya dan sebagainya, tetapi
harus, sekali lagi harus menunjukkan citra keaslian, yaitu berpakaian
cantik, rapih, dan serasi, dan tetap cekatan dalam tindakan, tidak
terkungkung ruang geraknya. Karena lahiriahnya bebas, batiniahnya juga
bebas dan perasaan menjadi enak. “Mereka harus mempunyai jiwa merdeka,”
tegas Bung Karno.
Singkatnya, berkain kebaya saja tidak
cukup. Sebab, sasakan rambut menjulang jelas tidak masuk dalam
terminologi wanita Indonesia yang cantik, rapih, serasi tetapi cekatan
dalam tindakan. Terhadap wanita seperti itu, Bung Karno menjamin,
lahiriah dan batiniahnya tidaklah bebas. Tanpa kebebasan lahirian dan
batiniah, maka ia belum berjiwa merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar