Presiden Soekarno |
Dalam mempelajari Islam, Bung Karno
meminta bahan-bahan dari Persatuan Islam Bandung, ia ingin mencocokkan
dengan pandangannya sendiri. Ia ingin membaca buku The Spirit of Islam
yang terkenal karya Syed Ameer Ali umpamanya, untuk dibandingkan dengan
pandangannya sendiri. Karena ia telah memiliki persepsi dan asumsi
mengenai ajaran Islam, maka ia ingin menampilkan pandangannya sendiri
tentang Islam. Ia berfikir, hendaknya dilakukan kritik terhadap
paham-paham Islam yang tradisional, untuk kemudian dikembalikan kepada
sumber ajaran Islam yang paling autentik, yaitu al Qur’an. Anehnya,
Soekarno yang bersemangat itu, menganjurkan dipakainya ilmu pengetahuan
modern (modern science), seperti ilmu-ilmu sosial, biologi, astronomi
atau elek-tronika untuk memahami al Qur’an.
Dalam perkataannya sendiri, Bukan saja kembali kepada al Qur’an dan Hadist, tetapi kembali kepada al Qur’an dan Hadist dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum. Ia bersikap kritis terhadap kitab-kitab tafsir, seperti ka-rangan Al-Baghawi, Al-Baidhawi dan Al Mazhari, karena tafsir-tafsir itu belum memakai ilmu pengatahuan modern.
Dalam perkataannya sendiri, Bukan saja kembali kepada al Qur’an dan Hadist, tetapi kembali kepada al Qur’an dan Hadist dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum. Ia bersikap kritis terhadap kitab-kitab tafsir, seperti ka-rangan Al-Baghawi, Al-Baidhawi dan Al Mazhari, karena tafsir-tafsir itu belum memakai ilmu pengatahuan modern.
Pandangan jauhnya terlihat dalam ucapannya sebagai berikut:
Bagaimana orang bisa betul-betul mengerti firman Tuhan bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh Nya ‘berjodoh-jodohan’, kalau tak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif,tak me-ngetahui aksi dan reaksi?. Bagaimana orang bisa mengatahui firmanNya, bahwa kamu melihat dan menyangka gu-nung-gunung itu barang keras, padahal semuanya itu berjalan selaku awan, dan sesungguhnya langit-langit itu asal-muasalnya serupa zat yang berlaku, lalu kami pecah-pecah dan dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air, kalau tidak mengerti sedikit astronomy? Dan bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang meriwayat kan Iskandar Zulkarnain, kalau tidak mengerti sedikit history dan archeology?
Bagaimana orang bisa betul-betul mengerti firman Tuhan bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh Nya ‘berjodoh-jodohan’, kalau tak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif,tak me-ngetahui aksi dan reaksi?. Bagaimana orang bisa mengatahui firmanNya, bahwa kamu melihat dan menyangka gu-nung-gunung itu barang keras, padahal semuanya itu berjalan selaku awan, dan sesungguhnya langit-langit itu asal-muasalnya serupa zat yang berlaku, lalu kami pecah-pecah dan dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air, kalau tidak mengerti sedikit astronomy? Dan bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang meriwayat kan Iskandar Zulkarnain, kalau tidak mengerti sedikit history dan archeology?
Pendekatan inilah yang kelak diikuti oleh scientist Muslim seperti Sahirul Alim, Ahmad Baiquni atau M. Immaduddin Abdurrahim. Ia menganjurkan agar umat Islam itu tidak
menengok ke belakang, termasuk hanya mengagumi dan mengaung-agung kan
zaman kejayaan Islam (Islamic Glory), melainkan melihat jauh kemuka.
Kuncinya adalah membuang jauh sikap anti-Barat secara priori. Ia juga
mengecam sikap tradisional yang disebutnya sebagai semangat kurma dan
semangat sorban. Saran lain yang dikemukakannya adalah tidak terpaku
pada yang halal dan haram saja, tetapi juga kepada hal-hal yang mubah
dan jaiz, dimana umat Islam mempunyai kemerdekaan berfikir, sesuai
dengan hadist nabi “Engkau lebih tahu mengenai masalah duniamu (antum
a’lamu bi umuri duniakum)
Tidak saja di lapangan pemikiran,
Soekarno banyak menganjurkan perhatian, tetapi juga di bidang da’wah. Ia
mengagumi kegiatan misi Katholik di Flores dan menganjurkan agar hal
yang sama bisa dilakukan oleh da’wah Islam. Kritik Soekarno muda memang blak-blakan
dan keras, sehingga ia sendiri merasa bisa disalah-pahami sebagai
anti-Islam. Walaupun menyadari risiko itu, ia tidak berhenti mengkritik
paham-paham Islam yang kolot. Tapi lebih tepatnya, di bidang da’wah ia
lebih bersimpati kepada muballig-muballig yang modern-scientific dan
mengecam muballig-mubalig ala kyai bersorban dan ala hadramaut. Ia
sangat menghargai umpamanya, muballig seperti Mohammat Natsir yang
menulis Islam dalam bahasa Belanda untuk kaum terpelajar.
Ia agaknya menginginkan, agar umat Islam
mengembangkan segi keduniaanya yang nabi Muhammad saw telah me-mberikan
kebebasan berfikir. Dalam rumusannya sendiri ia berkata:
Kita tidak ingat bahwa Nabi saw sendiri
telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal
urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram
atau tidak makruh. Kita royal sekali dengan perkataan kafir , kita gemar
sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir. Pengetahuan
Barat-kafir, radio dan kedokteran – kafir pantalon dan dasi dan
topi-kafir, sendok dan garpu dan kursi-kafir, tulisan Latin – kafir, ya
pergaulan dengan bangsa yang bukan Islampun – kafir ! Padahal apa-apa
yang kita namakan Islam? Bukan Roch Islam yang berkobar-kobar, bukan api
Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan korma dan jubah dan celak mata !
Kritik-kritik terhadap Islam tradisional
yang kolot, memang terasa tajam. Tetepi espresi itu sebanarnya jus tru
menunjukkan sikap jujurnya.
Ia tidak takut dicap anti-Islam. Namun sikap
yang sangat menghendaki kemaju an itu agaknya pernah menimbulkan
kejengkelan A. Hassan, sehingga Soekarno mudah dituduhnya telah
kebablasan , sehingga cenderung menghalalkan apa yang dalam fiqih
disebut haram. Soekarno memang banyak mengkritik pemikiran dan cara
berfikir fiqih dan cara berfikir taqlid terhadap ulama terdahulu. Ia
menginginkan ber-fikir dan melakukan reinterpretasi langsung kepada al
Qur’an dan Hadist yang sahih, sebab ia percaya bahwa Hadist yang sahih
tidak bertentangan dengan rasionalisme dan kemoderanan.
Memang kritik-kritik Haji Agus Salim, A.
Hassan dan Mohammad Natsir, ada kalanya cukup telak, misalnya dalam
mengoreksi paham cinta tanah air yang bisa menjerumuskan kita ke dalam
memberhalakan tanah air, bangsa dan ras. Soekarno juga tidak merasa dendam
terhadap para pengeritiknya, bahkan ia sangat menghargai pemikiran
semacam dari Haji Agus Salim dan Natsir. Ketika Bung Karno telah menjadi
Presiden RI, ia bahkan mengangkat Natsir sebagai sekretarisnya yang
sangat ia percaya. Banyak yang menyayangkan bahwa hubungan
Natsir-Soekarno itu retak. Kalangan Islam sendiri banyak menyayangkan
sikap Natsir umpamanya, mengapa ia tidak memelihara hubungan dengan
Soekarno, malahan lebih dekat dan dalam politik bahkan mengikut kepada
Syahrir
Kritik-kritiknya terhadap paham Islam
tradisional, betapapun tajam dan kerasnya. Kritiknya yang jelas
terpampang dalam tulisannya yang berjudul: Tabir adalah lambang
Perbudakan, Tabir tidak diperintahkan oleh Islam. Tapi di sini, nampak prasangka baik Bung
Karno terhadap Islam. Ia tidak menantang ajaran Islam itu sendiri,
melainkan mengatakan bahwa tabir itu tidak diperintahkan Islam. Ia tidak
percaya bahwa mensekat kelompok laki-laki dan perempuan itu adalah
perintah Islam. Pandangan Bung Karno itu ternyata dibenarkan oleh Haji
Agus Salim. Tapi sikap Bung Karno sendiri tegas dan uncompromising. Ia
bahkan pernah protes dengan meninggalkan suatu pertemuan Muhammadiyah,
karena pertemuan itu membuat tabir, padahal ia melihat tabir adalah
lambang perbudakan perempuan.
Soekarno muda sendiri tertarik kepada
Islam karena wacana Sheikh Mohammad Abduh dan syed Jamaluddin Al afghani
yang dikenal sebagai pelopor faham Islam modernis yang dikiuti oleh
Masyumi dan Muhammadiyah. Soekarno muda mengakui adanya apa yang disebut Islamisme yang merupakan sebuah ideologi, seperti Marxisme dan Nasionalisme.
Tapi konsep Islamisme itu sendiri tidak lagi berkembang, selain beberapa
tulisan Mohammad natsir tentang konsep negara dalam Islam atau islam
sebagai dasar negara yang masih bersifat sangat umum. Hal ini
menunjukkan betapa telah majunya pemikiran Bung Karno mengenai
kemungkinan dikembangkannya sebuah ideologi Islamisme. Disini kita tidak
melihat bahwa Bung Karno itu anti Islam-politik.
Masih tentang Islam Bung Karno pernah menjelaskan :
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meer warde sepanjang Marxisme, dalamn hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meer warde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberi bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekarja mengeluarkan untung itu, –teori meerwarde itu disusun oleh Karl Marx dan Frederich Engels yang menarangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwarde inilah kaum Marxisme meme-rangi kapitalisme sampai pada aker-akarnya !
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meer warde sepanjang Marxisme, dalamn hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meer warde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberi bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekarja mengeluarkan untung itu, –teori meerwarde itu disusun oleh Karl Marx dan Frederich Engels yang menarangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwarde inilah kaum Marxisme meme-rangi kapitalisme sampai pada aker-akarnya !
Pandangannya yang menyeluruh dan terbuka
menganai islam digambarkan dalam karangannya dalam Panji Islam (1940)
tentang Me `muda’ kan Pengertian Islam. Dalam karangannya itu ia antara
lain mengemukakan preporisi tentang flkesibilitas hukum Islam. Ternyata
pandangannya ini dikecam secara tajam dan sinis oleh A. Hassan. Padahal,
Soekarno hanyalah mengutip pandangan Sayid Ameer Ali dalam bukunya The
Spirit of Islam. Cuma Soekarno mempergunakan istilah yang kurang tepat,
yaitu mengumpamakan fleksibilitas itu dengan karet, sehingga ditangkap
oleh A. Hassan,
Bahwa Soekarno menganggap hukum Islam itu seperti hukum karet :
Hukum yang jempol haruslah seperti karet, katanya,
dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam.
Padahal menurut citranya, hukum itu haruslah tegas untuk men jamin apa yang disebut kepastian hukum.
Bahwa Soekarno menganggap hukum Islam itu seperti hukum karet :
Hukum yang jempol haruslah seperti karet, katanya,
dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam.
Padahal menurut citranya, hukum itu haruslah tegas untuk men jamin apa yang disebut kepastian hukum.
Dalam tulisannya mengenai memudakan
pengertian Islam itu Bung Karno sebenarnya ingin memajukan Islam dan
masyarakat Islam. Ia ingin agar Islam yang telah dimudakan itu mampu
membawa dan menjadi motor per-ubahan kemasyarakatan. Hanya saja di dalam
kehidupan politik, Bung Karno tidak menyetujui penggunaan simbol Islam.
Ia ingin Islam masuk ke dalam paham kebangsaan. Ia juga mengecap sistem
ketata-negaraan Islam menyetujui sistem demokrasi parlementer yang
dianggapnya sebagai demokrasi borjuis itu. Agaknya ia berharap Islam
mempunyai konsep sendiri mengenai demokrasi yang mengarah kepada gagasan
demokrasi terpimpin , yang kira-kira demokrasi yang berdasarkan
permusyawaratan daripada berdasarkan kebebasan yang memberi peluang bagi
tumbuhnya kapitalisme itu.
Di dalam spektrum kepemimpinan Islam di
Indonesia, Bung Karno menduduki posisi yang unik. Ia menyumbang kan
pemikiran-pemikiran Islam dengan analisis ilmu-ilmu sosial modern yang
tidak dilakukan oleh pemimpin Islam manapun. Jika seandainya tidak ada
orang seperti Bung Karno di kalangan umat Islam, seorang Bung Karno
perlu ditemukan, separti kata-kata Paul Samualton terhadap Milton
Friedman, bahwa seorang seperti dia should be invented. Karena itu
diskusi ini sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan rediscovery mengenai
Bung Karno sebagai pemikir Islam yang orisinal. Dan bukannya
kontroversial. Upaya ini merupakan argumen bahwa Bung Karno bukanlah
seorang sikretis, melainkan seorang penganut agama tauhid yang murni,
sebagai-mana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar