Hartini Soekarno |
Kurang lengkap rasanya bila membahas Bung
Karno tanpa melibatkan seorang wanita bernama Hartini. Wanita inilah
yang dengan setia mendampingi Bung Karno menuju saat senja kekuasaannya.
Ada bebera nama wanita yang sempat menghiasi perjalanan hidup Bung
Karno, tapi semua tidak bertahan lama.
Hartini, adalah seorang janda beranak
lima, ketika “ditemukan” Bung Karno di Salatiga, tahun 1952. Kisah
asmara Bung Karno dan Hartini, patut diangkat, demi memperingati hari
pernikahan mereka 55 tahun yang lalu, tepatnya 7 Juli 1954 di Bogor.
Sungguh kisah yang unik dan dramatik.
Hari itu, Bung Karno dijadwalkan melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kunjungan tersebut, rombongan Presiden
dijadwalkan singgah di Salatiga. Demi mendengar Bung Karno akan
singgah, sejak pagi rakyat kota Salatiga dan sekitarnya
berbondong-bondong menjejali Lapangan Tamansari. Di lapangan itulah Bung
Karno akan menyapa rakyat Salatiga dalam pidato yang selalu
ditunggu-tunggu rakyat dengan antusias.
Ibarat cerita layar perak, setting
berganti ke suasana kesibukan luar biasa di kediaman Walikota Salatiga.
Ya, karena di kediaman Walikota itulah Bung Karno akan rehat sejenak
sekaligus makan siang. Sepasukan ibu-ibu sibuk menyiapkan ini dan itu,
mulai dari menyiapkan meja jamuan makan sampai ke urusan masak-memasak
di dapur. Di antara kaum perempuan yang sedang
sibuk di dapur, tampak sosok perempuan berwajah lembut, berkulit bersih
kuning langsat, perawakan semampai, rambut hitam sepinggang, dan… senyum
manis tersungging di bibir yang merekah indah. Dialah Siti Suhartini,
yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah Walikota Salatiga, dan
kebetulan pula, pagi tadi ia “dijawil” Walikota untuk ikut membantu di
dapur, menyambut kedatangan Presiden Sukarno. Wanita yang di kemudian
hari dikenal sebagai Hartini itu, memasak sayur lodeh untuk melengkapi
masakan-masakan yang lain. Ia sendiri merasa “pe-de” dengan masakah
sayur lodehnya.
Sejenak, kita pindah setting ke
Lapangan Tamansari. Bung Karno sudah tiba, dan rakyat mengelu-elukan
dengan semarak. Sejurus kemudian, lautan manusia diam seketika diam,
suasana hening, tersirep oleh suasana magis, menanti Bung Karno mengucap
kata. Rakyat siap memekik “Merdeka!!!” sekuat-kuatnya jika nanti Bung
Karno menguluk salam. Ternyata, Bung Karno membuka pidato dengan
lantunan tembang “Suwe Ora Jamu”….
Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo…
Soekarno & Hartini |
Kontan saja, rakyat bergemuruh, ada yang
bertepuk tangan, ada yang ikut menyanyi, ada yang memekik Merdeka!!!
Merdeka!!! Merdeka!!! Jelaslah… hati rakyat benar-benar terjerat oleh
daya pikat Bung Karno. Begitu yang tampak pada suasana selanjutnya,
ketika Bung Karno berpidato dengan berapi-api, dan rakyat khidmat
menyimak kata demi kata, menikmat alunan tinggi dan rendah suara Singa
Podium.
Singkat kalimat, usai berpidato Bung
Karno diiringkan pejabat daerah, ajudan dan pengawal, menuju kediaman
Walikota Salatiga. Sesampai di sana, hidangan telah lengkap tersaji.
Aroma masakan olahan dapur dari para juru masak pilihan,
menyambar-nyambar hidung siapa saja di dekatnya. Sang perut pun mengirim
sinyal “lapar” kepada tuannya. Jadilah Bung Karno dan yang lain, segera
menikmati hidangan makan siang.
Bung Karno? Dia langsung menyambar sayur
lodeh di depannya. Ya… sayur lodeh masakan Hartini di dapur tadi. Lahap.
Lahap sekali, karena sayur lodeh memang merupakan menu kesukaan Bung
Karno. Begitu enaknya sayur lodeh di rumah Walikota Salatiga,
sampai-sampai seusai jamuan, Bung Karno menyempatkan diri bertanya,
“Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima
kasih kepadanya.”
Anda bayangkan sendirilah suasana ketika
itu. Di mana ada Bung Karno, di situ ada antusiasme siapa pun untuk
mendekat, melihat, bahkan kalau boleh mendekap, bahkan mencium kakinya
jika diizinkan. Artinya, ketika Bung Karno menanyakan si pemasak lodeh,
para perempuan yang bertugas di dapur menjadi gaduh. Maka, Sri Hartini
pun didorong-dorong oleh teman-temannya untuk maju… maju… menunjukkan
diri, menemui Presiden, dan menerima ucapan terima kasihnya.
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno,
terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan
hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang
ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat
betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan… lama! Bung
Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala
kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan
Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa?
Suami?”
Soekarno & Hartini |
Demi waktu, hari itu Sukarno jatuh cinta
kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Sukarno
di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini.
Pasca pertemuan pandang yang pertama
antara Presiden Sukarno dan Hartini di rumah Walikota Salatiga.
Perjalanan dinas selanjutnya, menyisakan satu ruang yang hampa di ruang
hatinya. Acara-acara kepresidenan selanjutnya, menyisakan satu ruang
kosong di ruang pikirnya. Benar, sebongkah rasa, sebutir pikir, telah
tertinggal di Salatiga, bersama kenangan mendebarkan saat jumpa Hartini,
jagoan pemasak sayur lodeh.
Bahkan, sesampai di Jakarta,
bayang-bayang wajah ayu Hartini tetap meliuk-liuk indah menemani
tatapan-tatapan kosong Sukarno. Senyum manis dari bibir yang indah,
serta sorot mata lembut tapi menusuk, menjadi santapan lamunan Sukarno.
Bangkit dari himpitan cinta, bangkit dari
lamunan, Sukarno langsung mengambil secarik kertas, memungut sebuah
pena, dan menulis sebaris kata. Untaian kata-kata cinta tadi, tercatat
dalam sejarah cinta Sukarno – Hartini, sebagai surat cinta pertama.
“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.”
Itulah goresan kata, yang kemudian dititipkan pada seseorang untuk
segera disampaikan kepada Hartini nun di Salatiga sana. Si penerima
surat yang dipanggil dengan panggilan kesayangan “Tien”, kaget bukan
kepalang. Belum selesai hatinya galau demi menerima surat cinta dari
Presiden Republik Indonesia, sudah datang lagi telegram-telegram, dan
surat-surat bernada cinta selanjutnya.
“Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd: …. SRIHANA.
Begitu salah satu surat cinta yang datang kemudian. Ihwal nama SRIHANA?
Itu adalah nama samaran Bung Karno. Adalah Bung Karno yang juga
memberikan nama SRIHANI kepada Hartini, sebagai nama samaran pula.
Alhasil, surat-menyurat Bung Karno – Hartini selanjutnya terus mengalir
menggunakan nama samaran SRIHANA – SRIHANI.
Tahun 1953, tercatat sebagai pertemuan
kedua antara Bung Karno dan Hartini. Lokasinya? Di Candi Prambanan.
Selama itu pula, Bung Karno terus menebar jala cinta, melalui ungkapan
kata-kata puitis dalam surat-suratnya. Hartini? Ia makin gundah… makin
gulana….
Bahkan, ketika Bung Karno melamarnya
untuk bersedia dijadikan istri kedua, Hartini tidak serta merta memberi
jawab. Bung Karno mengulang lamarannya, Hartini masih tetap belum
bersedia. Lagi, Bung Karno melamar lagi, Hartini belum juga memutus
kata.
Janda dalam usia 28 tahun, dengan paras
yang begitu ayu mempesona, sangat mungkin masih mendamba kehadiran
seorang pria. Akan tetapi, Hartini tidak pernah menduga, jika pria yang
dimaksud adalah seorang Presiden. Hartini tidak pernah menyangka bahwa
pria yang dimaksud telah memiliki first lady, Fatmawati.
Dalam kecamuk pikir dan gemuruh hati, Hartini hanya bisa berpaling kepada kedua orangtuanya, Pak Osan Murawi dan Mbok Mairah. Orangtua Hartini menjawab pertimbangan putrinya dengan mengatakan, “Dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden. Opo kowe kuat? Tanyakan hatimu. Apa pun keputusanmu kami memberi restu.”
Satu tahun berhubungan cinta melalui
surat dan sedikit pertemuan, akhirnya Hartini tak kuasa menolak
pinangan Bung Karno, dengan segala konsekuensi yang telah
dipikirkannya. Apalagi, benih-benih cinta yang disemai Bung Karno,
memang telah tumbuh subuh di hati Hartini. Hartini begitu mengagumi Bung
Karno, terlebih setelah bertubi-tubi menerima kiriman surat cinta,
dalam bahasa yang begitu indah, serta diselang-seling sisipan mutiara
kata dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Jawaban Hartini, “Ya… dalem bersedia menjadi istri Nandalem” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Suatu pribadi yang sangat luhur, dibalik
cinta yang besar Hartini terhadap Bung Karno namun naluri sebagai sesama
wanita masih begitu lekat dalam hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar