Soekarno - Hatta |
Kedatangan Jepang pertama kali ke Indonesia disambut dengan hangat oleh rakyat
Indonesia, rakyat Indonesia menganggap bahwa mereka telah dibebaskan
dari penjajahan Belanda oleh orang Jepang. Orang-orang timur menganggap
kemenangan Jepang ini merupakan kemenangan Asia atas Eropa. Masyarakat
Indonesia, khususnya orang-orang Jawa menganggap bahwa kedatangan Jepang
merupakan realisasi dari ramalan Jayabaya ramalan yang selama
ini dipercaya oleh masyarakat Jawa. Isi ramalan tersebut mengenai akan
datangnya orang-orang kulit kuning dari utara.
Pertemuan
Soekarno dengan orang Jepang terjadi di Bukittinggi pada tanggal 17
Maret 1942 dengan Kolonel Fujiyama. Kepulangan Soekarno dari tempat
pengasingan dijelaskan oleh Dahm. Bernhard Dahm (1987:276) dalam
bukunya ”Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan” menjelaskan, pada tanggal 9
Juli 1942, setelah menempuh perjalanan hampir empat hari empat malam
dengan menggunakan perahu motor akhirnya, Soekarno dan keluarga
terdekatnya kembali ke pulau Jawa. Soekarno dan Hatta kembali bertemu
setelah hampir sepuluh tahun lamanya mereka berdua terpisah karena
pengasingan yang dilakukan kolonial Belanda terhadap mereka berdua.
Sesampainya di Jakarta, Soekarno disambut oleh Hatta dan Sjahrir.
Pada malam harinya Soekarno bertemu kembali dengan Hatta dan Sjahrir di kediaman Hatta. Dalam pertemuan tersebut, terjadi pembicaraan mengenai strategi dan cara-cara yang akan digunakan dalam melawan penjajahan Jepang. Soekarno meminta kepada Hatta bahwa konflik dan pertentangan dimasa lalu (masa pergerakan) untuk sementara disingkirkan dahulu, karena menurut Soekarno tugas yang dihadapi sekarang jauh lebih penting dari pada masalah perbedaan-perbedaan individu diantara mereka. Kemudian permintaan dari Soekarno tersebut disetujui oleh Hatta.
Cindy H. Adams (1982:101) dalam bukunya “Otobiografi Soekarno, Pejambung Lidah Rakjat” menjelaskan momen awal tebentuknya dwitunggal,
Pada malam harinya Soekarno bertemu kembali dengan Hatta dan Sjahrir di kediaman Hatta. Dalam pertemuan tersebut, terjadi pembicaraan mengenai strategi dan cara-cara yang akan digunakan dalam melawan penjajahan Jepang. Soekarno meminta kepada Hatta bahwa konflik dan pertentangan dimasa lalu (masa pergerakan) untuk sementara disingkirkan dahulu, karena menurut Soekarno tugas yang dihadapi sekarang jauh lebih penting dari pada masalah perbedaan-perbedaan individu diantara mereka. Kemudian permintaan dari Soekarno tersebut disetujui oleh Hatta.
Cindy H. Adams (1982:101) dalam bukunya “Otobiografi Soekarno, Pejambung Lidah Rakjat” menjelaskan momen awal tebentuknya dwitunggal,
“kami
berjabat tangan dengan kesungguhan hati “inilah” janji kita sebagai
Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan
dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan
sepenuhnya”.
Janji
dari Soekarno dan Hatta tersebut disaksikan oleh Sutan Sjahrir yang
waktu itu juga datang dalam pertemuan tersebut. Pernyataan Soekarno dan
Hatta itulah yang kemudian hari dikenal oleh masyarakat Indonesia
sebagai Dwitunggal Soekarno-Hatta.
Kesepakatan
kerjasama antar Soekarno dan Hatta dalam wadah Dwitunggal disaksikan
oleh Sjahrir, satu-satunya tokoh yang ikut hadir dalam pertemuan. Selain
kesepakatan kerjasama Soekarno dan Hatta, dalam pembicaraan tersebut
juga menghasilkan cara-cara atau rencana-rencana gerakan untuk
menghadapi Kolonial Jepang.
Mereka setuju perjuangan yang akan dilakukan melalui dua cara, yang pertama yaitu dengan cara bekerja sama atau kooperasi dengan pihak Jepang yang diwakili oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta, dan yang kedua yaitu dengan cara gerakan “bawah tanah” yang akan dialakukan oleh Sjahrir.
Mereka setuju perjuangan yang akan dilakukan melalui dua cara, yang pertama yaitu dengan cara bekerja sama atau kooperasi dengan pihak Jepang yang diwakili oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta, dan yang kedua yaitu dengan cara gerakan “bawah tanah” yang akan dialakukan oleh Sjahrir.
Cara-cara
dan rencana yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut sebenarnya ada
sedikit perbedaan antara Soekarno dan Hatta mengengenai kerjasamanya
dengan pihak Jepang. Wawan T. Alam (2003:144) dalam bukunya yang
berjudul Demi Bangsaku, Pertentangan Soekarno vs Hatta mengungkapkan perbedaan tersebut. Menurut Soekarno ada beberapa alasan mengapa Soekarno mau bekerjasama dengan Jepang.
- Pertama, bahwa mereka mempunyai musuh yang sama yaitu Liberalisme, Kapitalisme, Imperialisme dan Individualisme yang merupakan semboyan dari dunia barat.
- Kedua, ada kesempatan untuk membangkitkan kesadaran rakyat.
- Ketiga, ada kesempatan untuk membentuk barisan persatuan yaitu dengan pembentukan PETA dan PUTERA, Keempat, ada kesempatan untuk melakukan Agitasi.
Disatu
sisi Hatta berpendapat, seperti yang diungkapkan oleh Sjahrir bahwa
tindakan kooperasinya atau kerjasama dengan Jepang itu lebih dikarenakan
adanya Force Majeure (keadaan memaksa). Hatta selalu
mengisyaratkan secara halus dalam setiap pidato-pidatonya selama
pendudukan Jepang, bahwa ia sebenarnya dipaksa oleh orang-orang Jepang
untuk bekerjasama. Selama masa itu, perhatiannya diabdikan kepada
pekerjaan secara diam-diam untuk pergerakan (Bernhard Dahm, 1987 : 279).
Alasan lain mengapa Soekarno-Hatta mau bekerja sama dengan Jepang
adalah Soekarno dan Hatta percaya akan ketulusan Jepang untuk memberikan
dukungan untuk kemerdekaan Indonesia, seperti propagandanya sebelum
Jepang melakukan penyerangan. Padahal kita tahu bahwa kedua tokoh
tersebut terkenal dengan tokoh non-kooperasi pada masa kolonial Belanda.
Tindakan
kerjasama Jepang dengan golongan nasionalis didasarkan karena Jepang
melihat bahwa kaum nasionalis tersebut sangat berpengaruh kepada
masyarkatnya, sehingga Jepang merasa perlu untuk mengadakan kerjasama
demi memudahkan pegarahan rakyat untuk kepentingan perang Jepang.
Kerjasama Jepang dengan nasionalis Indonesia dituangkan dalam bentuk
organisasi diantaranya adalah Gerakan Tiga A, PETA, Poetera. Dalam
organisasi-organisasi bentukan Jepang, Dwitunggal Soekarno-Hatta selalu
mendapat jabatan penting sebagi contoh di organisasi Poetera Soekarno
dan Hatta diangkat menjadi pemimpin tertinggi selain Ki Hadjar Dewantoro
dan Kyai Haji Mas Mansjur yang kemudian dikenal dengan Empat Serangkai. Pada
Akhir perang Pasifik dan Memasuki awal tahun 1944, kedudukan Jepang
dalam perang Pasifik semakin terdesak, Jepang mulai memberikan janji
pada bangsa Indonesia berupa kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari
janji yang diberikan oleh perdana menteri Jepang Kaiso Kuniaki pada
tanggal 19 September 1944. Pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Zunbi Coosokai oleh Jenderal Keimakici Harada. Bung Karno dan Bung Hatta duduk dalam keanggotaan BPUPKI tersebut.
Pada
tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI di bubarkan dan diganti dengan PPKI
(Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai.
PPKI diketuai oleh Ir Soekarno, wakil ketuanya adalah Moh Hatta dan
penasehat Ahmad Subardjo. Tugas PPKI adalah menyusun rencana kemerdekaan
Indonesia yang telah dihasilkan BPUPKI. Dalam keanggotaan dalam PPKI
Bung Karno dan Bung Hatta bekerja sama dan mengesampingkan
perbedaan-perbedaan yang sudah ada sejak tahun 1930-an demi satu tujuan
yang utama yaitu Indonesia yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar